Dosen Pengampu Drs. H. Syamsudin RS. M Ag.
A.
Karakteristik Masyarakat Arab Pra Islam
a.
Sistem kepercayaan
Sistem kepercayaan masyarakat arab jahiliyah adalah animisme, mereka
menyembah berhala dan patung-patung yang dianggap sebagai wasilah peribadahan
mereka. Diantara berhala yang mereka sembah dan dianggap sebagai senior adalah Latta,
Uza, Manat, Hubbal.
Sistem kepercayaan masyarakat Arab pra Islam juga merupakan alasan
kenapa mereka disebut dengan Masyarakat Jahiliyah yaitu sebagaimana yang
dikatakan oleh al-Qathan;
·
Tidak
adanya ilmu pengetahuan
·
Meyakini
sesuatu secara salah
·
Mengerjakan
sesuatu dengan menyalahi aturan atau tidak mengerjakan seharusnya dia kerjakan.
b.
Sistem sosial
Sistem sosial yang berkembang pada masyarakat jahiliyah adalah
Liberalisme buta. Sebelum Muhammad Saw. diutus sebagai Nabi, Kondisi sistem
sosial arab jahiliyah (kaum Qurais) sangat memprihatinkan, dimana hak para
wanita telah terkubur hidup-hidup bersama raga mereka, peperangan dan
pertumpahan darah di antara mereka sudah menjadi hiburan kesehariannya seperti
halnya mabuk, jinnah dan judi. Oleh karena itu, kehidupan sosial mereka sangat
anarkis dan menggunakan hukum rimba, sehingga kedatangan Nabi Muhammad sebagai
Rasul sangat tepat dengan “Litukhrijannaasi Minazzhulumaati Ila Nuur”(QS.
Al-baqoroh:257). yaitu menegeluarkan masyarakat manusia dari keterpurukan
sosial, moral, dan intelektual kepada pencerahan nur. (social
Enginering Less and presley, social
change habermash, social planing M.N. Ross, change management
Ira Kaufman). (Aang Ridwan. materi perkuliahan mata kuliah sejarah
peradaban islam, jurusan BPI, KPI, MD, Humas dan PMI FIDKOM UIN SGD
BDG:2006/2007)
Menjelang datangnya islam di bumi Mekkah, pada saat itu Mekkah satu-satunya
daerah yang terbebas dari pengaruh ajaran, politik, budaya, dan agama dari luar,
sehingga masyarakatnya cenderung inklusif dibawah pemerintahan
kerajaan-kerajaan kecil yang dikuasai oleh kafilah-kafilah Quraiys.
B.
Karakteristik masyarakat islam
1.
Masa Rasulullah saw.
a.
Aqidah yang kokoh
Ditengah kekacauan dan carut-marutnya sistem kemanusiaan pada masa
jahiliyah tampaknya kedatangan Rasulullah merupakan sebuah anugerah besar yang
sangat didambakan oleh umat amnusia pada waktu itu. Ketertindasan masyarakat law
class oleh kalangan high class, pelecehan terhadap wanita dan
peperangan yang tiada henti mendapatkan sebuah warna baru bagi mereka yaitu al-Islam
yang mengajarkan arti kehidupan dengan kedamaian dan kasih sayang.
Ajaran Islam yang membukau menjadi faktor pembentuk karakter
masyarakat yang memiliki aqidah kuat, istoqomah (konsisten) dalam beramal
(berkarya). Kokohnya aqidah umat Islam pada masa Rasulullah Saw. Tergamabar
dalam setiap langkah hidup mereka yang selalu membatasi prilaku, ucapan, dan
keyakinan mereka hanya dengan Islam serta lebih jauhnya lagi mereka senantiasa
turut berperang menggencarkan dan menghancurkan musuh-musuh Allah dari kalangan
munafiqin, musyrikin dan kafirin.
b.
Konsisten dalam beramal
Sebagai sampel masyarakat madani, kaum muslimin pada masa Rasul
Saw. Memiliki konsistensi yang cukup tinggi dalam beramal dan berkarya sehingga
mereka mampu mengejewantahkan semua ajaran islam dalam kehidupan mereka secara
komfrehensif dan universal. Sehingga, kesungguhan dan kekonsistenan umat Islam
dalam beramal telah membuahkan hasil berupa karya besar (menyimpan al-quran dan
hadist) dalam bentuk hapalan dan aplikasi maka dari itulah, kemurnian al-quran
tetap terjaga sampai pada masa kodifikasi, pembukuan dalam bentuk mushaf yang
sampai saat ini dan tidak pernah diragukan kebenarannya. Dinamika ini sangat
jauh berbeda dengan apa yang kita lihat dan kita rasakan sekarang karena
konsistensi dalam beramal tampaknya telah mengalami penyederhanaan yang
keterlaluan sehingga amal shaleh hanya berbatas kotak amal.
c.
Kepemimpinan yang berwibawa
Hal yang paling penting dalam terwujudnya sebuah model masyarakat
madani adalah bahwa pembawa risalah (Rasulullah Saw) yang tampil sebagai sampel
kepemimpinan yang penuh wibawa, dengan menampilkan keteladanan sebagai enginer,
Rasulullah Saw. Terutama pada priode madinah melancarkan sejumlah aksi
pembangunan masyarakat yang berorintasi pada peradaban “masyarakat madani”
yaitu diantaranya adalah:
1.
Pembangunan
masjid Quba sebagai langkah awal simbolis bahwa pembanguna masyarakat Islam
harus dimulai dari masjid. Karena itu,benarlah apa yang dikatakan oleh Sidi
Gazalba, bahwa masjid bukan semata sebagai tempat sembahyang, melainkan juga
sebagai pusat peradaban.
2.
Pembentukanl
lembaga ukhuwah antara kalangan muhajirin dan kalangan anshar, yang
menyimbolkan betapa masyarakat Islam membutuhkan basis organisasi yang kukuh
dan teguh demi integrasi umat. Ini yang kemudian diambil oleh dunia menejemen
modern yang meniscayakan adanya teamwork untuk meraih sesuatu yang jauh
lebih besar.landasan politis yang menjami
3.
Piagam
madinah mengajarkan bahwa pembinaan
masyarakat Islam memerlukan semacam memorandum of agreement sebagai
landasan politis yang menjamin integrasi sosial[1].
d.
Interaksi sosial yang harmonis dengan kalangan non-Muslim
Berbagai
tindakan diplomatis dan bernuansa strategi telah berhasil dilancarkan oleh
Rasulullah Saw. yaitu dalam berbagai perjanjian dengan kalangan non muslim, dan
salah satunya adalah piagam Madinah, yang kemudian mampu membangun interaksi
sosial (hubungan) dengan yahudi Madinah secara harmonis. Hal ini menunjukan
bahwa, bagi umat Islam, kepiawaian berpolotik juga penting dalam pembangunan
masyarakat, karena salah satu faktor eksternal penghambat proses pembangunan
dan pengembangan masyarakat Islam adalah hubungan yang kurang harmonis dengan
komunitas non muslim.
2.
Masa Khulafaurrasyidin
a.
Masyarakat berkembang dengan prinsif Musyawarah
Wafatnya Rasulullah Saw. bagaikan sebuah instruksi amandmen
sehingga terjadi perubahan tradisi dan tatanan politik umat Islam pada tubuh
kaum muslimin pada masa khulafaurrasyidin. Kepergian seorang figur sentral umat
Islam (Nabi Muhammad Saw.), mengundang sejumlah persoalan baru bagi para
sahabat terutama dalam masalah politi yaitu, siapakah yang akan tamppil sebagai
pengganti kepemimpinan Beliau[2].
Perdebatan mengenai hal tersebut cukup memanas sehingga, seandainya
pembinaan aqidah islamiyah yang dilakukan Rasul belum sampai pada target yang
sempurna maka hampir saja terjadi pertumpahan darah antara kalangan muhajirin
dan kalangan anshar. Akan tetapi masyakat Islam pada saat itu mampu
memperlihatkan karakter mendasar, diantaranya masyarakat mengambil sebuah
solusi tepat (prinsif musyawarah yang kuat) dan pada akhirnya Abu Bakar
as-Shidiq (abdullah bin abu Quhafah at-Tamimi) dibaiat sebagai khalifah pertama
pengganti kepemimpinan Rasul saw. prinsif musyawarah ini dilakukan untuk mengembangkan
diri diluar pantauan Rasulullah secara langsung dengan menarik persetujuan para
pemuka masyarakat. Sehingga, keadilan dan keharmonisan tetap terjaga selama
beberapa dekade pergantian kepemimpinan (khulafaurrasyidin), dengan
menjalankan prinsif keterbukaan baik dalam lingkungan internal masyarakat Islam
juga dalam lingkungan eksternal dengan skala internasional (lihat Agus Ahmad
-Syafei. pengembangan masyarakata islam dari ideologi,strategi sampai
tradisi. Hal 22, dan Kahar Muzakar Hasbi. Sejarah Perkembangan
Kebudayaan Dan Peradaban Islam. hal.58-60).
b.
Mulai bergerak dan berinteraksi secara terbuka dalam skala
internasional
Selain program besar yang dijalankan oleh Khalifah Abu Bakar yaitu
penumpasan terhadap kaum murtadin dan para pembangkang di tubuh intern
masyarakat Islam, persoalan eksternal seperti, kekacauan yang terjadi di atas
tanah Persia yang selalu bertempur dengan Erova yang masih dalam masa kegelapan
(kerajaan Romawi Timur/Bizantium) juga
mengundang umat Islam untuk bereaksi ditengah perpecahan Persia yang mengalami
dekadensi sehingga mampu memanfaatkan kesempatan ini dan tampil sebagai
pemberdaya. Kejadian ini merupakan bukti dari Nabi Saw. ketika beliau
mengirimkan surat pada raja Persia (Kisra) namun kemudian Kisra merobek-robek surat
beliau maka nabi berkata “semoga Allah merobek-robek kerajaannya sebagimana dia
merobek-robek suratku. Dia mengirimkan sekantong pasir kepadaku dan kelak
kalian akan menguasai seluruh tanah negerinya”[3].
Dan setelah kisra dibunuh oleh puteranya sendiri Syiraweh maka dari
sinilah umat islam mulai membangun interaksi secara terbuka dengan persia dan
skala internasional, sampai akhirnya mampu menundukan Bizantium itu sendiri.
3.
Masa Bani Umayyah
a.
Masyarakat berkembang dengan kepemimpinan (politik)
otoritarianistik (monarcy)
Setelah
priode khulafaurrasyidin berakhir, maka tampilah Muawiyah bin abu Sufyan
sebagai penerus kepemimpinan masyarakat Islam yang sebetulnya telah membidik
tambuk kekuasaan semenjak khalifah Ali ra. masih berkuasa. Terpilihnya Muawiyah
sebagai pemimpin Islam, maka nuansa politik pun kembali mengalami perubahan
yang sangat signifikan, tradisi musyawarah sudah mulai dilupakan karena pada
masa ini peran kalangan dianggap sebagi hal yang sangat berarti dalam kancah
perpolitikannya. Oleh sebab itu, faktor penguasa pada masa ini sangat
mendominasi terhadap pembangunan dan pembentukan kebudayaan yang beraneka ragam[4].
Pada
masa ini pulalah masyarakat islam bersentuhan dengan pola kepemimpinan tertutup
dan otoritarianistik yang dikembangkan oleh muawiyyah dan keturunannya.
Ada beberapa point yang menjadi faktor berkembangnya masyarakat Islam di bawah
kepemimpinan otoritarian muawiyyah, di antaranya asalah;
1)
Penyusuna
admistrasi cukup baik dan dibina atas dasar administrasi bizantium.
2)
Mengangkat
para penasehat yang cakap dalam masalah keuangan dan ini dipercayakan pada
orang kristen.
3)
Tingkat
kebudayaan yang sudah maju dari orang arab yang telah pindah ke syiria dan
telah mendiami daerah ini sejak sebelum Islam.
4)
Menanamkan
rasa toleransi yang mantap antar berbagai Agama.
5)
Faktor
pengembangan wilayah dan pembinaan kebudayaan Islam.
6)
Pemindahan
ibu kota sebagai pusat kegiatan pemerintah ke Damaskus.
7)
Menghidupkan
kembali jalur perdagangan Teluk Persia yang selama masa konfrontasi dengan
bizantium dengan persia tidak berfungsi.
8)
Memiliki
kekuatan politik dan militer, sehingga telah berhasil menaklukan beberapa
daerah di Afrika Utara tahun 50 H/670 M. Lembah Indus dan Lahore tahun 44 H/664
M.
9)
Menunjuk
putera mahkota Yazid sebagai pengganti khalifah, kebijaksanaan ini, sehingga
mengejutkan lawan-lawannya.[5]
Perkembangan
lain terjadi pada masa dua khalifah lain yaitu, masa Abdul malik 65-96 H/685-705
M. dan pada masa Walid bin Abdul Malik 86-96H/705-715 M. kedua khlifa ini telah
membawa perubahan penting dalam kancah politik dan Negara serta meluaskan
kekuasaan, dan mulai menjalankan politik kebudayaan “ARABISASI”, yaitu
mengutamakan unsur arab dalam pembinaan kebudayaan islam.
b.
Pertumbuhan ekonomi tinggi hasil perdagangan
Dengan
dipindahkannya ibu kota negara ke daerah Damaskus dan dibukaknnya kembali jalur
perdagangan di Teluk Persia maka jelaslah masyarakat islam Arab, khusunya kaum
saudagar yang sejak dulu telah menguasai jalur
perdagangan yang menghubungkan India dengan venezia di Laut mediterania,
dan sekarang memiliki peluang baru untuk menguasai jalur perdagangan teluk
Persia semakin berkembang dan memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan
perekonomian Negara dari hasil perdagangan mereka[6].
Selain
itu, subsidi pada sektor pertanian juga menjadi faktor pendukung terhadap
perkembangan ekonomi masyrakat. Pada masa Bani Umayyah ini masyarakat sudah
dikenalkan dengan sistem pengairan berbasis teknologi seperti pembuatan sumur
dan irigasi-irigasi yang bertujuan untuk meningkatkan hasil pertanian, sektor
industrialisasi juga menjadi nadi pertumbuhan ekonomi bagi Umayyah.
Salah
satu target dari para penguasa bani Umayyah yang menjadi grand target nya
adalah; aspek internalnya adalah kekuatan militer dan konsolidasi politik,
sementara aspek eksternalnya adalah perluasan kekuasaan ke seluruh penjuru
dunia, sehingga bidang ekonomi dan dan militer mencapai keberhasilan yang
gemilang akan tetapi, perkembangan Ilmu Pengetahuan pada masa Bani Umayyah
tidak begitu berkembang.
4.
Masa bani Abbasiyah
a.
Masyarakat berkembang dengan kepemimpinan (politik)
otoritarianistik (monarcy)
Dinamika
pengembangan masyarakat Islam pada masa Daulah bani Abbasiyah sebetulnya tidak
dimuali sejak berdirinya daulah ini akan tetapi sebagai lanjutan dari
kebangkitan Islam pada masa Bani Umayyah. Ada beberapa faktor yang mempengruhi
terhadap pertumbuhan dan perkembangan masyarakat Islam pada masa ini baik
secara intrnal maupun eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi terhadap
perkembangan masyarakat Islam diantaranya adalah kereatifitas tiga khalifah
daulah Abbasiyah (al-Mansyur 158 H-775 M, al-Rasyid 193 H-809 M, dan al-Ma’mun
218 H-833 M)[7],
selain itu tingkat peradaban dan intelektual masyarakat yang sudah maju juga
mempermudah terhadap perkembangan masyarakat secara umum. Adapun faktor
eksternal salah satunya adalah dengan dipindahkannya ibu kota pemerintahan dari
Khufah ke Baghdad yang merupakan tempat kediaman orang-orang persia, sementara
itu masyarakat persia sudah mengalami kemajuan dalam bidang pengetahuan dan
teknologi, lahirnya kaum filsuf yang memilliki keterampilan berbahasa arab dan
asing sehingga mudah untuk menterjemahkan buku-buku dari berbagai penjuru dunia
ke dalam bahasa Arab, dan seiring dengan perluasan kekuasaannya massyarakat
Islam telah mengalami akulturasi budaya dan pengetahuan sehingga mereka
berasimilasi dengan peradaban barat tanpa merubah prinsif-prinsif theologi
mereka.
Masa Abbasiyah menjadi tonggak puncak peradaban
Islam. Khalifah-khalifah Bani Abbasiyah secara terbuka mempelopori perkembangan
ilmu pengetahuan dengan mendatangkan naskah-naskah kuno dari berbagai pusat peradaban
sebelumnya untuk kemudian diterjemahkan, diadaptasi dan diterapkan di dunai
Islam. Para ulama’ muslim yang ahli dalam berbagai ilmu pengetahuan baik agama
maupun non agama juga muncul pada masa ini. Pesatnya perkembangan peradaban
juga didukung oleh kemajuan ekonomi imperium yang menjadi penghubung dunua
timur dan barat. Stabilitas politik yang relatif baik terutama pada masa
Abbasiyah awal ini juga menjadi pemicu kemajuan peradaban Islam[8].
Ada
beberapa sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Abbasiyah, dan mempengaruhi
perkembangan masyarakat Islam, yaitu;
a. Para
Khalifah tetap dari keturunan Arab murni, sedangkan pejabat lainnya diambil
dari kaum mawalli.
b. Kota Bagdad
dijadikan sebagai ibu kota negara, ang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi,
sosial dan ataupun kebudayaan serta terbuka untuk siapa saja, termasuk bangsa
dan penganut agama lain.
c. Ilmu
pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang mulia, yang penting dan sesuatu yang
harus dikembangkan.
d. Kebebasan berpikir sebagai hak asasi
manusia.[9]
b. Pertumbuhan
ekonomi tinggi hasil perdagangan
Ekonomi
imperium Abbasiyah digerakkan oleh perdagangan. Sudah terdapat berbagai macam
industri seperti kain linen di Mesir, sutra dari Syiria dan
Irak, kertas dari Samarkand, serta berbagai produk pertanian sepertigandum dari
mesir dan kurma dari iraq. Hasil-hasil industri dan pertanian ini
diperdagangkan ke berbagai wilayah kekuasaan Abbasiyahdan Negara lain.
Karena
industralisasi yang muncul di perkotaan ini, urbanisasi tak dapat dibendung
lagi. Selain itu, perdagangan barang tambang juga semarak. Emas yang ditambang
dari Nubia dan Sudan Barat melambungkan perekonomian Abbasiyah.
Perdagangan
dengan wilayah-wilayah lain merupakan hal yang sangat penting. Secara bersamaan
dengan kemajuan Daulah Abbasiyah, Dinasti Tang di Cina juga mengalami masa
puncak kejayaan sehingga hubungan perdagangan antara keduanya menambah semaraknya
kegiatan perdagangan dunia.[10]
c. Capaian ilmu
dan teknologi tinggi (Golden Age of Islam)
Bani Abbas mewarisi imperium besar Bani Umayah.
Terlebih lagi setelah al-Mansur (754-775 M) sebagai khalifah kedua daulah
Abbasiyah memindahkan pusat pemerintahannya ke Baghdad dan bergabung dengan
penduduk Persia yang sudah maju dalam bidang pengetahuan. Hal yang tidak kalah
penting adalah bahwa, bani Abbasiyah juga mewarisi imperium peninggalan Daulah
Bani Umayah yang besar.
Daulah Abbasiyah dikenal dengan‘’The Golden Age
of islam’’. masa pencapaian puncak kemuliaan Islam, baik dalam bidang ekonomi,
peradaban maupun kekuasaan. perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan
seperti, filsafat dengan tokohnya al-Kindi, Ibnu Rusyd dan yang lainnya,
matematika dan kedokteran dengan tokohnya Ibnu Syina, ditambah lagi dengan
semarak kehadiran para penerjemahan buku-buku dari bahasa asing ke bahasa Arab.
Fenomena ini kemudian yang melahirkan cendikiawan-cendikiawan besar yang
menghasilkan berbagai inovasi baru di berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
C.
Konsitusi (Piagam Madinah)
Mengenai piagam Madinah, maka tidak ada yang bisa menyangkal lagi
bahwa Rasulullah Saw. adalah proklamator Islam yang sangat diplomatis dalam
berpolitik. Hal ini didukung oleh seorang sosiolog
ternama Barat, Robert N. Bellah, dia mengatakan bahwa Piagam Madinah
yang disusun Rasulullah itu dinilai sebagai konstitusi termodern di zamannya,
atau konstitusi pertama yang pernah ada di dunia, dan bahkan sampai sekarang
pun belum terulangi lagi adanya sebuah perjanjian yang sanat adil dan sangat
bijaksana sepeti itu.
Betapa tidak
demikian, karena jika kita perhatikan teks piagam madinah tersebut begitu luar
biasa, sehingga mampu meredam kompleksitas permasalahan sosial masyarakat
madinah yang telah lama dan begitu banyak mengalirkan darah karena kebencian
diantara Bani Aus dan Kkhazraz mampu terhapuskan dengan jalan penyelasaian yang
begitu halus dan diplomatis. Hanya dengan 47 pasal Rasulullah Saw. mampu
mendamaikan negara yang baru saja beliau diami, menumbuhkan rasa nasionalisme
dan membentuk sebuah koalisi bahkan beliau mampu menjadi pemimpin dalam koalisi
tersebut dan melindungi umat Islam dari kafir Quraiys.
D.
Peranan Politik dan
Kepemimpinan Dalam Pengembangan Masyarakat Islam
Perana politik dan kepemimpinan dalam pengembangan masyarakat Islam
sangat banyak berpengaruh, salah satu bukti dari pernyataan tersebut, bisa kita
kaji dalam sejarah pemerintahan dua dinasti pasca khulafaurrasyidin. Pada masa
pemerintahan dinasti Umayah, hanya pada masa pemerintahan sebagian khlalifahlah
yang mencapai keberhasilan dalam pengembangan masyarakat dengan kapasitas,
kridibilitas dan elektabiltas pemimpinnya. Begitu pula pada masa daulah bani
Abbasiyah dan setiap pemerintahan yang
pernah ada di muka bumi ini termasuk sekarang yang sedang kita jalani.
E.
Perubahan sistem politik dari sistem demokrasi ke otoritarian
Perubahan sistem politik dari sistem demokrasi
menjadi sistem toritarian merupakan klimaks dari perseteruan yang timbul dari
pembunuhan Khalifah Umar bin Khatab oleh Abu Lu-luah, dan pemberontakan yang
dimotori oleh propaganda Abdullah bin Saba terhadap sahabat-sahabat utama
khalifah Utsman sehingga Utsman pun terbunuh, peristiwa tersebut terjadi 18 Zul
Hijjah 35 H/656 M[11].
Dalam masa berkabung, pengikut Utsman sedang
sibuk mencari siapa yang telah membunuh Utsman, Ali bin Abi Thalib kemudian
dibaiat sebagi pengganti khalifah Utsman. Dari sinilah mulai timbul perseteruan
yang berkepanjangan, terlabih-lebih ketika Ali menyusun kebijaksanaan dan mengambil
kembali tanah yang telah diberikan oleh Utsaman kepada para kepala wilayah yang
diangkat oleh Utsman[12].
Dari kebijakan yang diambil oleh Khalifah Ali
ternyata mengundang sejumlah persoalan dan friksi plitik di tubuh
pemerintahan Ali, terutama keluarga Muawiyah bin abu Sufyan yang bertekad
menyusun dan memperkuat barisan untuk melawan Ali. Diikuti oleh Aisyah,
Abdullah bin Zubair dan Thalhah ikut memberntak dan menuntut bela atas kematian
Utsman. Peperangan mulai terjadi, seperti perang unta dan perang siffin. Di
tengah peperangan antara kelompok Ali dengan kelompk Muawiyyah yang terus
terdesak, Amru bin Ash, dengan siastnya, menusuk al-quran dan di acungkan
sebagai tanda perdamaian “tahlim” akan tetapi setelah terjadi
perundingan antara Ali dengan Muawiyyah, pengikut Ali terpecah menjadi dua
golongan yaitu, Syi’ah (pendukung Ali) dan Khawariz (yang keluar dari barisan
Ali). Setelah kejadian itu, timbulla rencana pembunuhan terhadap Ali dan
Muawiyyah akan tetapi hanya Ali yang berhasil dibunuh.
Perseteruan dan pemberontakan terus berlanjut
sekalipun Muawiyyah telah dilantik sebagai Khalifah pengganti khalifah Ali. Fenomena
ini menjadi salah satu faktor utama mengapa sistem plitik dari demokrasi
(musyawarah) menjadi otoritarianistik (turun temurun). Syi’ah telah mengangkat
Hasan Putera Ali sebagai khalifah akan tetapi tidak diakui oleh kebanyakan
masyarakat karena lebih memilih Muawiyah sebagai khalifah. Salah satu strategi
dan kebijakan Muawiyah adalah menunjuk putera mahkota Yazid sebagai pengganti
khalifah, yang bertujuan untuk mempertahankan dinastinya yang penuh dengan
ancaman baik dari kelompok Syi’ah maupun kelompok Khawariz maka begitulah
seterusnya pemerintahan dinasti Umayyah (otoritarian) samapi dinasti ini
tumbang dan digantikan oleh dinasti Abbasiyah yang sama-sama menjalankan sistem
otoritarian (turun-temurun).
F.
Yahudi Diusir dari Bumi Madinah
Dan jikalau tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap
mereka-benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat
azab neraka..
Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menetang Allah dan
Rasul-Nya. Barang siapa menentang Allah, maka sesungguhnya Allah angat keras
hukuman-Nya.[13]
Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya),
padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang
pertama kali mulai memerangi kamu? Mengapa kamu takut kepada mereka padahal
Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar yang beriman.[14]
Kaum Yahudi yang tinggal di Madinah adalah Yahudi Bani Qoinuqo,
Bani Nadzir dan Bani Qurazhah. Ketiga bani ini adalah kelompok yang ikut serta
dalam penandatanganan watsiqoh (piagam) madinah. Akan tetapi, mereka
semua pada akhirnya melanggar perjanjian-perjanjian yang telah disepakati
sehingga akhirnya Rasulullah mengusir mereka dengan cara yang kasar.
Yahudi Bani
Qainuqa pergi meninggalkan Madinah sebagai orang-orang yang terusir dan terhina
(karena mengkhianati Piagam Madinah). Sebagian besar dari mereka tinggal di
wilayah Adzra’at (termasuk kawasan Syam). Sedangkan Sebagian besar bani Nadzir akhirnya menetap di daerah yang terletak
antara Khaibar dan Syam.
G.
Masjid Sebagai Salah Satu Simbol Komunitas Muslim
Pembangunan
masjid Quba sebagai langkah awal simbolis bahwa pembanguna masyarakat Islam
harus dimulai dari masjid. Karena itu,benarlah apa yang dikatakan oleh Sidi
Gazalba, bahwa masjid bukan semata sebagai tempat sembahyang, melainkan juga
sebagai pusat peradaban.[15]
Tidak seperti yang kita saksikan sekarang,
masjid pada masa Rasulullah Saw. Dijadikan sebagai tempat yang memiliki multi
fungsi dalam setiap pembinaan, pembentukan dan pemberdayaan masyarakat sehingga
masjid menjadi sibo kmunitas Muslim yang solid. Sedangkan yang lebih ironis dan
sangat memprihatinkan sekarang ini adalah masjid yang berjumlah ratusan bahkan
ribuan dalam satu kota/kabupaten namun keberadaan masjid hanya berfungsi
sebagai tempat pelaksanaan shalat jum’at semata dan pada hari-hari selain hari Jum’at
masjid tersebut tertutup rapat dan pintu terkunci.
Padahal begitu jelas dalam al-quran, bahwa
Allah SWT. Memrintahkan kepada segenp kaum yang mengaku beriman agar selalu
memakmurkan masjid. Dalam QS. At-Taubah: 18 Allah berfirman:
Hanya yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah ialah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari kiamat, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat
dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah
orang-rang yang diharapkan termasuk rang-rang yang mendapat petunjuk.[16]
Selain itu, dalam sejarah umat Islam dijelaskan bahwa
Rasulullah memfungsikan masjid Quba dan masjid Nabawi setidak-tidaknya memiliki
sepuluh fungsi utama dalam memberdayakan masyarkat Islam, bahkan menurut
sebagian pemuka agama Islam kesepuluh funsi ini menjadi tolak ukur sebuah
masjid yang dibangun atas dasar ketaqwaan. Sementara Rasulullah Saw. Pernah
memberikan sebuah instruksi untuk menghancurkan masjid yang tidak sesuai dengan
fungsinya yaitu masjid yang dibangun oleh orang munafik (Abdullah bin Ubay).
Adapun sepuluh fungsi utama masjid Nabawi tersebut adalah:
1. Tempat ibadah (shalat, zikir).
2. Tempat konsultasi dan komunikasi
(masalah ekonomi-sosial budaya).
3. Tempat pendidikan.
4. Tempat santunan sosial.
5. Tempat
latihan militer dan persiapan alat-alatnya.
6. Tempat pengobatan para korban perang.
7. Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa.
8. Aula dan tempat menerima tamu.
9. Tempat menawan tahanan, dan
10. Pusat
penerangan atau pembelaan agama.
Menurut sejarahwan, masjid pada masa Rasulullah mampu berfungsi sedemikian
rupa itu, disebabkan leh beberapa faktor yang diantaranya adalah:
1. Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang
teguh kepada nilai, norma,
dan jiwa agama.
2.
Kemampuan pembina-pembina masjid
menghubungkan kondisi sosial
dan kebutuhan masyarakat
dengan uraian dan kegiatan masjid.
REFERENSI
1. Al-Quranul kariem
2. Shaleh, Qomaruddin. 1978. Khutbah Jum’at Bahan Dakwah (Basa Sunda). Bandung:
CV. Diponegoro
3. Hasbi, Khahar Muzakar. 2007. Sejarah Perkmbangan Kebudayaan dan
Peradaban Isalm. Bandung: Solo Press
4. Mukhsin, Khalid. 1992. Debat
Islam dan Sekuler. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar
5. Ali, Khalid Sayyid. 1991. Surat-surat
Nabi Muhammad. Jakarta: Gema Insani Press
6. Machendrawati ,Nanih dan Agus Ahmad Safei. 2001. Pengembangan masyarakat islam: dari Ideologi,
Strategi sampai Tradisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
7. Trj. Madkour, Ibrahim. 2009. Aliran
Dan Teori Filsafat Islam. Yogyakarta: Bumi
Aksar
8. Ridwan ,Aang. Materi Perkuliahan
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam, Jurusan BPI, KPI, MD, Humas dan PMI
FIDKOM UIN SGD BDG. Hand Out..:2006/200
9. Peradaban-Islam-Pada-Masa-Daulah-Bani-Abbasiyah.
http//afirmanto.blogspot.com (diposkan oleh Menuju Cahaya di 15:17)
10. Rasulullah Mengusir Yahudi dari
Madinah. imron fauzi in. 28 Mei 2010
[1] Nanih Machendrawati dan Agus Ahmad Safei. Pengembangan
masyarakat islam: masalah dan jalan keluar (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2001,) Hal. 21 pada BAB V “Masyarakat Islam dalam Lintas Sejarah”
[2] Kahar Muzakar Hasbi. Sejarah Kebudayaan Dan Peradaban Islam.(Bandung:
Solo Press, 2006) hal. 61
[3] Kholid Sayid Ali.Surat-surat nabi Muhammad, (Jakarta:Gema
Insani Press, 1990) hal.51 pada bagian tulisan Sikap Kisra Pada Surat Nabi.
[4] Agus Ahmad Syafei, op.cit. hal22
[5] Kahar Muzakar, op.cit. hal 64
[6] ibid. hal. 56
[7] Terjemahan Ibrahim Madkour, Aliran Dan Teori Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Bumi Aksar, 2009) hal.116 tentang Pertumbuhan Filsafat Islam
[9] Ibid, hal. 3
[10] Ibid, hal.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar