Senin, 19 Desember 2011

UTS Filsafat Ilmu


PENGERTIAN FILSAFAT ILMU

1.      Robert Ackerman Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
2.      Lewis White Beck Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3.      Michael V. Berry filsafat ilmu adalah Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.
4.      Peter Caws Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
5.      Stephen R. Toulmin Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika

Tujuan dan fungsi mempelajari filsafat
            Filsafat mencoba memberikan suatu gambaran dasar tentang pola-pola penyelidikan ilmiah, metode-metode penggatian dan perhitungan, praanggapan-pranggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisis.
            Filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta, maknanya dan nilainya. Sedangakan tujuan filsafat adalah pengertian dan kebijaksanaan (understanding and wisdom). Ilmu memberikan kita pengetahuan, dan filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan pada keingingan manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran. S. Takdir Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat dapat memberikan ketenangan pikiran dan kemantapaan hati.
            Tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan[1].
            Filsafat bertujuan mempertajam pikiran dan filsafat itu tidak hanya harus diketahui tapi harus dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup yang baik. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun metafisik (hakikat keaslian).

Pengertian ontologi
            Ontology, sebagai sebuah istilah berasal dari bahasa Yunani, yaitu on (ada) dan ontos (berada), yang kemudian disenyawakan dengan kata logos (ilmu atau study tentang). Dalam bahasa Inggris ia diserap menjadi ontology dengan pengertian sebagai study atau ilmu mengenai yang ada atau berada.

Dalam kamus Filsafat Lorens Bagus terdapat beberapa Pengertian ontology antara lain:
1.      Study tentang ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari satu study tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang Ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti: “Apa itu Ada-dalam dirinya sendiri? “Apa hakikat Ada sebagai Ada?
2.      Cabang filsafat yang menggeluti tata cara dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori seperti: ada/menjadi, aktualitas/noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang-ada sebagai yang-ada, ketergantungan pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal terlahir, dasar.
3.      Cabang filsafat yang mencoba:
a.       Melukiskan hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna).
b.      Menunjukkan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya.
c.       Menghubungkan pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.

Jadi ontology (dalam filsafat ilmu) adalah cara pandang mengenai objek materi suatu ilmu, pembicaraan mengenai hakikat objek materi ilmu. Atau dengan kata lain penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan itu).

Pengertian epistimologi
 Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga berarti pengetahuan. Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa epistemology adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa epistemology membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Epistemology berhubungan dengan apa yang perlu diketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Lacey mengatakan bahwa epistemologi membahas tentang,”what can we know, and how do we know it,” Sedangkan Qodri Azizy Epistemologi dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih lanjut Azizi mengatakan epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri. Ada juga yang menyatakan bahwa episteme berarti Knowledge atau science, sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing and the means by which we know. Dengan demikian epistemology atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Pembicaran tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemology tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.
Ada dua teori tentang kebenaran dan hakekat pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai pandangan bahwa gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat). Artinya apa yang digambarkan akal adalah sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia. Dengan pendapat tersebut aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap benar ketika sesuai dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan adalah idealisme. Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif.

 Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan dalam bahasa Inggris dianalogkan (hampir disamakan) dengan kata “Knowledge” yang berarti pengetahuan. Dalam bahasa Arab kata tahu-mengetahui bisa berasal dari suku kata “‘arofa-al’ma’rifah” (mengetahui-Ilmu pengetahuan), sehingga muncul istilah ilmu yang berdimensi “Irfan”, juga bisa dari kata “al-’ilmu-’uluum” yang artinya pengetahuan4. Pengetahuan manusia yang maju mengenai hal-hal yang empiric disebut ilmu ( science ). Kata science sebenarnya bukan asli bahasa Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, scio, scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science berasal dari bahasa Latin scire dan scientia yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui.[2]

Pengertian Ilmu
1.      Mohammad Hatta
Ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam.[3]
2.      Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran
Ilmu adalah: Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia.
Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”

Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari bahasa yunani yaitu metodus yang artinya ilmu  digunakan dalam memproleh kebenaran menggunakan penulusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran tergantung realitas yang sedang dikaji.
Dalam kamus besar bahasa indonesia metodologi adalah ilmu tentang metode, uraian tentang metode dan cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[4]

Pengertian Metode
            Kata metode berasaal dari bahasa Yunani yang artinya cara atau jalan yang ditempuh. Menurut Peter R. Seen metode adalah suatu prosedur atau cara mengetahui seseuatu dengan langkah-langkah yang sistematis.

Pengertian Metode ilmiah
Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan melakukan observasi serta membentuk hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.

Sumber-Sumber Pengetahuan

Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu. Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis dengan nama “innete idea”.[5] Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Dalam sejarah manusia, ada banyak cara yang ditampuh dalam mencari jawaban atas persoalan yang mereka hadapi.
Sumber-sumber pengetahuan ini dikelompokkan menjadi lima:
1.      Pengalaman
2.      Otoritas
3.      Cara berpikir deduktif
4.      Cara berpikir induktif
5.      Pendekatan ilmiah

1.        Pengalaman
Pengalaman adalah sumber pengetahuan yang telah banyak diketahui dan digunakan orang. Berdasarkan pengalaman pribadi seseorang dapat menemukan jawaban atas banyak persoalan yang dihadapinya. Andaikata kita tidak dapat mengambil manfaat dari pengalaman itu, mungkin kemajuan akan sangat terlambat.
Meski demikian pengalaman sebagai sumber kebenaran, mempunyai keterbatasan. Ada kalanya pengaruh suatu kejadian terhadap seseorang, akan bergantung kepada siapa orang itu. Dua oang yang mengalami situasi yang sama mungkin akan memperoleh pengalaman yang berbeda.
Kelemahan lain dari pengalaman ialah bahwa seringkali seseorang perlu mengetahui hal-hal yang tidak dapat dipelajari/diketahui lewat pengalaman sendiri. Seorang guru, melalui pengalamannya, dapat mengetahui jumlah keseluruhan murid dalam suatu kelas pada suatu hari, tetapi ia tidak dapat menghitung secara pribadi jumlah penduduk Indonesia seluruhnya.




2.        Wewenang
Wewenang atau otoritas maksudnya orang mencari jawaban peranyaan itu dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman dalam al itu, atau yang mempunyai sumber keahlian lainnya. Apa yang dikerjakan oleh orang yang kita ketahui mempunyai wewenang itu, kita terima sebagai suatu kebenaran. Seseorang siswa akan membuka kamus untuk mengetahui arti kata-kata asing. Untuk mengetahui jumlah penduduk Indonesia misalnya, orang akan melihat laporan biro pusat statistic Indonesia.
Walaupun wewenang merupakan salah satu sumber ilmu pengetahuan kita yang sangat berguna, kita tidak boleh melupakan pertanyaan, “ bagaimana orqang yang dianggap mempunyai wewenang itu mengetahui hal itu ?”.
Erat hubungannya dengan wewenang adalah kebiasaan dan tradisi. Para pendidik menganggap praktek-praktek di masa lalu sebagai pedoman yang dapat dipercaya, tapi terungkap bahwa banyak tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun lamanya kemudian terbukti salah dan harus ditolak.
Kelemahan dari wewenang. Pertama, orang-orang yang berwenang itu juga bisqa salah, juga orang yang dianggap berwenang itu berbeda pendapat tentang beberapa masalah.

3.        Cara berpikir deduktif
Cara berpikir deduktif yang diperkenalan oleh Aroistoteles dan pengikutnya dirumuskan sebagi proses berpikir yag bertolah pada pernyataan yang sifatnya umum ke pernyataan yang bersifat khusus dengan memakai kaidah logika tertentu. Hal ini dilakukan melalui serangkaian pernyataan yang disebut silogisme, yang terdiri atas:
a.     Dasar pikiran utama (premis mayor)
b.    Dasar pikiran kedua (premis minor)
c.     Kesimpulan
Dalam berpikir deduktif, jika dasar pikirannya benar, maka kesimpulan pasti benar. Karena memungkinkan seseorang menyusunpremis-premis menjadi pola-pola yang dapat memberikan bukti-bukti kuat bagi kesimpulan yang sahih (valid). Deduksi dari teori dapat menghasilkan hipotesis, suatu bagian vital dalam penyelidikan ilmiah.
Akan tetapi, juga memiliki keterbatasan. Kesimpulan silogisme tidak pernah melampaui isi premis-premisnya. Karena selalu merupakan perluasan dari pengetahuan yang sudah ada sebelumnya, sehingga dalam penyelidikan ilmiah sulit menentukan kebenaran universal dari berbagai penyataan mengenai gejala ilmiah.
4.        Cara Berpikir Induktif
Francis Bacon (1561-1626) berpendapat bahwa para pemikir hendaknya tidak merendahkan diri begitu saja dengan menerima premis orang yang punya otoritas sebagai kebenaran mutlak. Ia yakin seseorang penyelidik dapat membuat kesimpulan umum berdasarkan fakta yang dikumpulkan melalui pengamatan langsung. Pendekatan ini dikenal sebagai cara berpikir induktif, yang merupakan kebalikan dari proses metode deduktif. Perbedaanya dalam contoh sebagai berikut.
Deduktif : setiap binatang menyusui mempunyai paru-paru.
Kelinci adalah binatang menyusui.
Oleh karena itu, setiap kelinci mempunyai paru-paru.
Induktif : setiap kelinci yang pernah diamati mempunyai paru-paru
Oleh karena itu, setiap kelinci mempunyai paru-paru.
Kesimpulan induktif hanya dapat mutlak apabila kelompok yang menjadi objek itu kecil. Maka kita biasanya memakai induksi tak sempurna. Dalam sistem ini, orang mengamati sample suatu kelompok kemudian membuat kesimpulan tentang karakteristik seluruh kelompok itu berdasarkan sample tersebut. Sekalipun induksi tak-sempurna tidak memungkinkan kita mencapai kesimpulan yang tak bisa salah, induksi tak-sempurna ini dapat memberikan informasi meyakinkan yang dapat dijadikan dasar untuk membuat keputusan yang masuk akal.
5.        Pendekatan Ilmiah
Penggunaan induksi secara eksklusif menyebabkan pengetahuan dan informasi terpisah-pisah, sehingga tidak banyak mendorong kemajuan pengetahuan. Sehingga muncul metode baru yaitu metode induktif-deduktif atau pendekatan ilmiah yang menggabungkan aspek-aspek paling penting dari metode induktif dan deduktif.
Pendekatan ilmiah biasanya dilukiskan sebagai proses dimana penyelidik secara induktif bertolak dari pengamatan mereka menuju hipotesis. Kemudian secara deduktif peneliti bergerak dari hipotesis ke implikasi logis hipotesis tersebut. Kemudian menarik kesimpulan mengenai akibat yang akan terjadi apabila hubungan yang diduga itu benar. Apabila implikasi yang diperoleh secara deduktif ini sesuai dengan pengetahuan yang sudah diterima kebenarannya, maka selanjutnya implikasi tersebut diuji dengan data empiris (yang dikumpulkan). Berdasarkan bukti-bukti ini, maka hipotesis ini dapat diterima atau ditolak.
Penggunaan hipotesis merupakan perbedaan utama antara pendekatan ilmiah dan cara berpikir induktif. Dengan cara induktif kita melakukan pengamatan terlebih dahulu dan baru kemudian menyusun informasi yang diperoleh. Pada umumnya dianggap bermanfaat kalau pendekatan ilmiah disajikan sebagai suatu rangkaian langkah yang harus diikuti. Perumusan secara pasti tentang langkah tersebut mungkin akan berbeda antara satu pengarang dengan pengarang yang lain.
Langkah langkah dalam pendekatan ilmiah adalah sebagai berikut:
a.       Perumusan masalah
Penyelidikan ilmiah bermula dari suatu masalah persoalan yang memerlukan pemecahan. Ciri penting suatu persoalan yang dapat diselidiki secara ilmiah, persoalan tersebut harus dapat dirumuskan sedemkian rupa, sehingga dapat dijawab dengan pengamatan dan percobaan di dunia ini.
 b.      Pengajuan hipotesis
Hipotesis merupakan penjelasan sementara tentang masalah itu. Sehingga mengharuskan membaca bahan bacaan yang berkaitan dengan masalah itu dan berpikir lebih mendalam lagi.

c.       Cara berpikir deduktif
Melalui proses berpikir deduktif, implikasi hipotesis yang diajukan itu, yaitu apa yang akan diamati jika hipotesis tersebut benar ditetapkan.
d.      Pengumpulan dan analisis data
Hipotesis atau lebih tepatnya implikasi yang diperoleh melalui deduksi, diuji dengan jalan mengumpulkan data yang ada hubungannya dengan masalah yang diselidiki melalui pengamatan, tes, dan eksperimentasi.
e.       Penerimaan dan penolakan hipotesis
Setelah data dikumpulkan, maka hasilnya dianalisis untuk menetapkan apakah penyelidikan memberikan bukti-bukti yang mendukung hipotesis atau tidak. Sseseorang akan menyimpulkan bahwa bukt-bukti yang diperoleh mendukung atau tidak mendukung hipotesis.

Sumber-Sumber Pengetahuan Menurut Masyarakat Religius[6][7]
            Salah satu pembahasan dalam epistimologi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral dan transenden. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama meninggalkan yang essensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu ( revelation) dan ilham (intuisi)”.[8] Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi adalah termanifestaasikan dalam diri para nabi dan rasul. Sehingga para agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia


DAFTAR PUSTAKA


Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1998
Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan  
Ahmad Tafsir Filsafat Umum, (Bandung, 1990)
Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Pustaka  Sinar Harapan, Jakarta 1998
Ahmad Tafsir Filsafat Umum, (Bandung, 1990).
Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan,
Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1998
Cecep Sumarna. 2006. Filsafat Ilmu ;dari Hakikat menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
H.Jono,Cecep Sumarna.2006. Melacak Jejak Filsafat. Bandung: Sangga Buana
Jujun S. Sumantri.2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Maksum, Ali. 2009. Pengantar filsafat dari masa klasik hingga postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.


           


 
 



[1] Radhakrishnan dalam bukunya, History of Philosophy
[2] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (dari Hakikat menuju Nilai), (Bandung: Pustaka Bani Quraisy 2006), hal. 95
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Balai Pustaka. Jakarta. 2002

[5] M. Amin Abdullah, Studi Agama ; Normativitas atau Historisitas?, ( Yogyakarta : Pustaka Palajar, 1999 ) hlm. 246

[6] Jika disebut masyarakat relegius berarti juga mencakup para agamawan dan mistikiawan dan sebutan lainnya. Istilah-istilah ini bagi penulis hampir sama makna misinya walaupun mempunyai rasa kebahasaan yang berbeda
[7] Mircea Eliade, Sakral dan Profan, Mircea mengistilahkan masyarakat relegius dengan “Homo relegiuos”. Cirinya selalu percaya bahwa ada sebuah realitas absolute,sacral dan transendental namun memanifestasikan dirinya dalam dunia ini. Tidak sulit untuk membedakan masyarakat relegius dengan yang tidak. Manusia non-relegius menolak transendental, menerima relativisme realitas dan bahkan meragukan eksistensi.
[8] Jujun S. Suriasumantri, Op., Cit., hlm.52