PENGERTIAN FILSAFAT ILMU
1.
Robert Ackerman Filsafat ilmu
dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah
dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan
dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat
ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari
praktek ilmiah secara aktual.
2.
Lewis White
Beck Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya
ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
3.
Michael V.
Berry filsafat ilmu adalah Penelaahan tentang logika interen dari
teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni
tentang metode ilmiah.
4.
Peter Caws Filsafat ilmu merupakan
suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat
seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua
macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam
semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan
tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat
disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk
teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan
kesalahan.
5.
Stephen R.
Toulmin Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu
mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses
penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan,
metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis,
dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari
sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika
Tujuan dan fungsi
mempelajari filsafat
Filsafat mencoba memberikan
suatu gambaran dasar tentang pola-pola penyelidikan ilmiah, metode-metode
penggatian dan perhitungan, praanggapan-pranggapan metafisis, dan seterusnya
dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut
tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisis.
Filsafat adalah suatu usaha memahami alam semesta,
maknanya dan nilainya. Sedangakan tujuan filsafat adalah pengertian dan
kebijaksanaan (understanding and wisdom). Ilmu memberikan kita pengetahuan, dan
filsafat memberikan hikmah. Filsafat memberikan kepuasan pada keingingan
manusia akan pengetahuan yang tersusun dengan tertib, akan kebenaran. S. Takdir
Alisyahbana menulis dalam bukunya: filsafat dapat memberikan ketenangan pikiran
dan kemantapaan hati.
Tugas filsafat bukanlah sekadar mencerminkan semangat
masa ketika kita hidup, melainkan membimbingnya maju. Fungsi filsafat adalah
kreatif, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada
jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk
menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan
penggolongan-penggolongan berdasarkan 'nation', ras, dan keyakinan[1].
Filsafat bertujuan mempertajam
pikiran dan filsafat itu tidak hanya harus diketahui tapi harus dipraktekan
dalam kehidupan sehari-hari. Filsafat akan memberikan dasar-dasar pengetahuan
yang dibutuhkan untuk hidup yang baik. Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa tujuan filsafat adalah mencari hakikat kebenaran
sesuatu, baik dalam logika (kebenaran berpikir), etika (berperilaku), maupun
metafisik (hakikat keaslian).
Pengertian ontologi
Ontology, sebagai sebuah istilah berasal dari bahasa Yunani, yaitu
on (ada) dan ontos (berada), yang kemudian disenyawakan dengan kata logos (ilmu
atau study tentang). Dalam bahasa Inggris ia diserap menjadi ontology dengan
pengertian sebagai study atau ilmu mengenai yang ada atau berada.
Dalam kamus Filsafat
Lorens Bagus terdapat beberapa Pengertian ontology antara lain:
1. Study tentang
ciri-ciri esensial dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari satu
study tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari Yang Ada dalam
bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan seperti:
“Apa itu Ada-dalam dirinya sendiri? “Apa hakikat Ada sebagai Ada?
2. Cabang filsafat yang menggeluti tata cara dan
struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan kategori-kategori
seperti: ada/menjadi, aktualitas/noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang-ada
sebagai yang-ada, ketergantungan pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri,
hal-hal terlahir, dasar.
3. Cabang filsafat
yang mencoba:
a. Melukiskan
hakikat Ada yang terakhir (Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi Sempurna).
b. Menunjukkan
bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya.
c. Menghubungkan
pikiran dan tindakan manusia yang bersifat individual dan hidup dalam sejarah
dengan realitas tertentu.
Jadi ontology (dalam filsafat ilmu) adalah cara pandang mengenai
objek materi suatu ilmu, pembicaraan mengenai hakikat objek materi ilmu. Atau
dengan kata lain penjelasan tentang keberadaan atau eksistensi yang
mempermasalahkan akar-akar (akar yang paling mendasar tentang apa yang disebut
dengan ilmu pengetahuan itu).
Pengertian epistimologi
Secara etimologis epistemologi berakar kata dari bahasa Yunani
episteme yang mempunyai arti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Logos juga
berarti pengetahuan. Dari dua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa
epistemology adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa epistemology membicarakan dirinya sendiri, membedah lebih dalam
tentang dirinya sendiri. Epistemology berhubungan dengan apa yang perlu diketahui
dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Lacey mengatakan bahwa epistemologi
membahas tentang,”what can we know, and how do we know it,” Sedangkan Qodri
Azizy Epistemologi dikatakan sebagai filsafat ilmu. Lebih lanjut Azizi
mengatakan epistemologi berkecenderungan berdiri sendiri. Ada juga yang
menyatakan bahwa episteme berarti Knowledge atau science, sedangkan logos
berarti the theory of the nature of knowing and the means by which we know.
Dengan demikian epistemology atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai
cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
praanggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat
untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Pembicaran tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang
dapat diketahui dan bagaimana cara mengetahui. Dengan demikian dalam pembahasan
ini akan mengacu kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri.
Membahas epistemology tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan,
meskipun dalam realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai
perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan
metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.
Ada dua teori tentang kebenaran dan hakekat
pengetahuan, dua teori tersebut adalah realisme yang mempunyai pandangan bahwa
gambaran atau kopi yang sebenarnya dari apa yang ada di alam nyata (dari fakta
atau hakikat). Artinya apa
yang digambarkan akal adalah sesuai dengan realitas di luar akal atau diri
manusia. Dengan pendapat tersebut aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan
dianggap benar ketika sesuai dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat
pengetahuan adalah idealisme. Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan
pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan realitas adalah mustahil.
Pengetahuan adalah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif.
Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan adalah
merupakan hasil “Tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu objek tertentu yang mana penginderaan ini terjadi melalui panca indera manusia yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba yang sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
telinga (Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan
dalam bahasa Inggris dianalogkan (hampir disamakan) dengan kata “Knowledge”
yang berarti pengetahuan. Dalam bahasa Arab kata tahu-mengetahui bisa berasal
dari suku kata “‘arofa-al’ma’rifah” (mengetahui-Ilmu pengetahuan), sehingga
muncul istilah ilmu yang berdimensi “Irfan”, juga bisa dari kata
“al-’ilmu-’uluum” yang artinya pengetahuan4. Pengetahuan manusia yang maju
mengenai hal-hal yang empiric disebut ilmu ( science ). Kata science sebenarnya
bukan asli bahasa Inggris, tetapi merupakan serapan dari bahasa Latin, scio,
scire yang arti dasarnya pengetahuan. Ada juga yang menyebutkan bahwa science
berasal dari bahasa Latin scire dan scientia yang berarti pengetahuan dan
aktivitas mengetahui.[2]
Pengertian Ilmu
1. Mohammad Hatta
Ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan
hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut
kedudukannya tampak dari luar, maupun menurut hubungannya dari dalam.[3]
2. Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas
Pajajaran
Ilmu
adalah: Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan
Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia. Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia. Suatu cara menganalisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”
Pengertian Metodologi
Metodologi berasal dari
bahasa yunani yaitu metodus yang artinya ilmu digunakan dalam memproleh kebenaran menggunakan
penulusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran tergantung
realitas yang sedang dikaji.
Dalam kamus besar bahasa indonesia
metodologi adalah ilmu tentang metode, uraian tentang metode dan cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan.[4]
Pengertian Metode
Kata metode berasaal dari bahasa Yunani yang
artinya cara atau jalan yang ditempuh. Menurut Peter R. Seen metode adalah
suatu prosedur atau cara mengetahui seseuatu dengan langkah-langkah yang
sistematis.
Pengertian Metode
ilmiah
Metode ilmiah atau proses ilmiah merupakan proses keilmuan untuk
memperoleh pengetahuan secara
sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan melakukan observasi serta
membentuk hipotesis dalam
usahanya untuk menjelaskan fenomena alam. Prediksi yang
dibuat berdasarkan hipotesis tersebut diuji dengan melakukan eksperimen. Jika
suatu hipotesis lolos uji berkali-kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori ilmiah.
Sumber-Sumber Pengetahuan
Pengetahuan dalam pandangan Rasionalis
bersumber dari “Idea”. Tokoh awalnya adalah Plato (427-347). Menurutnya alam
idea itu kekal, tidak berubah-ubah. Manusia semenjak lahir sudah membawa idea
bawaan sehingga tinggal mengingatnya kembali untuk menganalisa sesuatu itu.
Istilah yang digunakan Rene Descartes (1596-1650) sebagai tokoh rasionalis
dengan nama “innete idea”.[5]
Penganut rasionalis tidak percaya dengan inderawi karena inderawi memiliki
keterbatasan dan dapat berubah-ubah. Sesuatu yang tidak mengalami perubahan
itulah yang dapat dijadikan pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Dalam
sejarah manusia, ada banyak cara yang ditampuh dalam mencari jawaban atas
persoalan yang mereka hadapi.
Sumber-sumber
pengetahuan ini dikelompokkan menjadi
lima:
1. Pengalaman
2. Otoritas
3. Cara berpikir
deduktif
4. Cara berpikir
induktif
5. Pendekatan
ilmiah
1.
Pengalaman
Pengalaman
adalah sumber pengetahuan yang telah banyak diketahui dan digunakan orang.
Berdasarkan pengalaman pribadi seseorang dapat menemukan jawaban atas banyak persoalan
yang dihadapinya. Andaikata kita tidak dapat mengambil manfaat dari pengalaman
itu, mungkin kemajuan akan sangat terlambat.
Meski
demikian pengalaman sebagai sumber kebenaran, mempunyai keterbatasan. Ada
kalanya pengaruh suatu kejadian terhadap seseorang, akan bergantung kepada
siapa orang itu. Dua oang yang mengalami situasi yang sama mungkin akan
memperoleh pengalaman yang berbeda.
Kelemahan
lain dari pengalaman ialah bahwa seringkali seseorang perlu mengetahui hal-hal
yang tidak dapat dipelajari/diketahui lewat pengalaman sendiri. Seorang guru,
melalui pengalamannya, dapat mengetahui jumlah keseluruhan murid dalam suatu
kelas pada suatu hari, tetapi ia tidak dapat menghitung secara pribadi jumlah
penduduk Indonesia seluruhnya.
2.
Wewenang
Wewenang
atau otoritas maksudnya orang mencari jawaban peranyaan itu dari orang lain
yang telah mempunyai pengalaman dalam al itu, atau yang mempunyai sumber
keahlian lainnya. Apa yang dikerjakan oleh orang yang kita ketahui mempunyai
wewenang itu, kita terima sebagai suatu kebenaran. Seseorang siswa akan membuka
kamus untuk mengetahui arti kata-kata asing. Untuk mengetahui jumlah penduduk
Indonesia misalnya, orang akan melihat laporan biro pusat statistic Indonesia.
Walaupun wewenang merupakan salah satu sumber ilmu
pengetahuan kita yang sangat berguna, kita tidak boleh melupakan pertanyaan, “
bagaimana orqang yang dianggap mempunyai wewenang itu mengetahui hal itu ?”.
Erat
hubungannya dengan wewenang adalah kebiasaan dan tradisi. Para pendidik
menganggap praktek-praktek di masa lalu sebagai pedoman yang dapat dipercaya,
tapi terungkap bahwa banyak tradisi yang telah berlangsung bertahun-tahun
lamanya kemudian terbukti salah dan harus ditolak.
Kelemahan
dari wewenang. Pertama, orang-orang yang berwenang itu juga bisqa salah, juga
orang yang dianggap berwenang itu berbeda pendapat tentang beberapa masalah.
3.
Cara berpikir deduktif
Cara berpikir deduktif yang diperkenalan oleh
Aroistoteles dan pengikutnya dirumuskan sebagi proses berpikir yag bertolah
pada pernyataan yang sifatnya umum ke pernyataan yang bersifat khusus dengan
memakai kaidah logika tertentu. Hal ini dilakukan melalui serangkaian pernyataan yang disebut
silogisme, yang terdiri atas:
a. Dasar
pikiran utama (premis mayor)
b. Dasar
pikiran kedua (premis minor)
c. Kesimpulan
Dalam berpikir deduktif, jika dasar pikirannya benar,
maka kesimpulan pasti benar. Karena memungkinkan seseorang
menyusunpremis-premis menjadi pola-pola yang dapat memberikan bukti-bukti kuat
bagi kesimpulan yang sahih (valid). Deduksi dari teori dapat menghasilkan
hipotesis, suatu bagian vital dalam penyelidikan ilmiah.
Akan tetapi, juga memiliki keterbatasan. Kesimpulan silogisme tidak pernah
melampaui isi premis-premisnya. Karena selalu merupakan perluasan dari
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya, sehingga dalam penyelidikan ilmiah sulit
menentukan kebenaran universal dari berbagai penyataan mengenai gejala ilmiah.
4.
Cara Berpikir Induktif
Francis
Bacon (1561-1626) berpendapat bahwa para pemikir hendaknya tidak merendahkan
diri begitu saja dengan menerima premis orang yang punya otoritas sebagai
kebenaran mutlak. Ia yakin seseorang penyelidik dapat membuat kesimpulan umum
berdasarkan fakta yang dikumpulkan melalui pengamatan langsung. Pendekatan ini
dikenal sebagai cara berpikir induktif, yang merupakan kebalikan dari proses
metode deduktif. Perbedaanya dalam contoh sebagai berikut.
Deduktif :
setiap binatang menyusui mempunyai paru-paru.
Kelinci adalah
binatang menyusui.
Oleh karena
itu, setiap kelinci mempunyai paru-paru.
Induktif :
setiap kelinci yang pernah diamati mempunyai paru-paru
Oleh karena
itu, setiap kelinci mempunyai paru-paru.
Kesimpulan
induktif hanya dapat mutlak apabila kelompok yang menjadi objek itu kecil. Maka
kita biasanya memakai induksi tak sempurna. Dalam sistem ini, orang mengamati
sample suatu kelompok kemudian membuat kesimpulan tentang karakteristik seluruh
kelompok itu berdasarkan sample tersebut. Sekalipun induksi tak-sempurna tidak
memungkinkan kita mencapai kesimpulan yang tak bisa salah, induksi tak-sempurna
ini dapat memberikan informasi meyakinkan yang dapat dijadikan dasar untuk
membuat keputusan yang masuk akal.
5.
Pendekatan Ilmiah
Penggunaan
induksi secara eksklusif menyebabkan pengetahuan dan informasi terpisah-pisah,
sehingga tidak banyak mendorong kemajuan pengetahuan. Sehingga muncul metode
baru yaitu metode induktif-deduktif atau pendekatan ilmiah yang menggabungkan
aspek-aspek paling penting dari metode induktif dan deduktif.
Pendekatan
ilmiah biasanya dilukiskan sebagai proses dimana penyelidik secara induktif
bertolak dari pengamatan mereka menuju hipotesis. Kemudian secara deduktif
peneliti bergerak dari hipotesis ke implikasi logis hipotesis tersebut.
Kemudian menarik kesimpulan mengenai akibat yang akan terjadi apabila hubungan
yang diduga itu benar. Apabila implikasi yang diperoleh secara deduktif ini
sesuai dengan pengetahuan yang sudah diterima kebenarannya, maka selanjutnya
implikasi tersebut diuji dengan data empiris (yang dikumpulkan). Berdasarkan
bukti-bukti ini, maka hipotesis ini dapat diterima atau ditolak.
Penggunaan
hipotesis merupakan perbedaan utama antara pendekatan ilmiah dan cara berpikir
induktif. Dengan cara induktif kita melakukan pengamatan terlebih dahulu dan
baru kemudian menyusun informasi yang diperoleh. Pada umumnya dianggap bermanfaat
kalau pendekatan ilmiah disajikan sebagai suatu rangkaian langkah yang harus
diikuti. Perumusan secara pasti tentang langkah tersebut mungkin akan berbeda
antara satu pengarang dengan pengarang yang lain.
Langkah langkah dalam pendekatan ilmiah adalah
sebagai berikut:
a.
Perumusan
masalah
Penyelidikan ilmiah bermula dari suatu masalah
persoalan yang memerlukan pemecahan. Ciri penting suatu persoalan yang dapat
diselidiki secara ilmiah, persoalan tersebut harus dapat dirumuskan sedemkian
rupa, sehingga dapat dijawab dengan pengamatan dan percobaan di dunia ini.
b.
Pengajuan
hipotesis
Hipotesis merupakan penjelasan sementara
tentang masalah itu. Sehingga mengharuskan membaca bahan bacaan yang berkaitan
dengan masalah itu dan berpikir lebih mendalam lagi.
c.
Cara
berpikir deduktif
Melalui proses berpikir deduktif, implikasi
hipotesis yang diajukan itu, yaitu apa yang akan diamati jika hipotesis
tersebut benar ditetapkan.
d.
Pengumpulan
dan analisis data
Hipotesis atau lebih tepatnya implikasi yang diperoleh
melalui deduksi, diuji dengan jalan mengumpulkan data yang ada hubungannya
dengan masalah yang diselidiki melalui pengamatan, tes, dan eksperimentasi.
e.
Penerimaan
dan penolakan hipotesis
Setelah data dikumpulkan, maka hasilnya
dianalisis untuk menetapkan apakah penyelidikan memberikan bukti-bukti yang
mendukung hipotesis atau tidak. Sseseorang akan menyimpulkan bahwa bukt-bukti
yang diperoleh mendukung atau tidak mendukung hipotesis.
Salah
satu pembahasan dalam epistimologi adalah sumber-sumber ilmu pengetahuan.
Sumber pengetahuan pada masyarakat relegius berawal dari sesuatu yang sakral
dan transenden. Tuhan merupakan sumber dan sebab pertama “causa prima” dari
segala sesuatu. Manusia tidak akan menemukan kebenaran yang hakiki selama
meninggalkan yang essensi ini.
Sumber ilmu pengetahuan untuk mengatahui
hakekat segala sesuatu bagi masyarakat relegius tidak cukup dengan menggunakan
panca indera dan akal saja tetapi ada dua unsur lain yaitu ” wahyu (
revelation) dan ilham (intuisi)”.[8]
Wahyu itu adalah salah satu dari wujud “Ketuhanan” dan ilham atau intuisi
adalah termanifestaasikan dalam diri para nabi dan rasul. Sehingga para
agamawan mengatakan bahwa kitab suci (wahyu) merupakan sumber ilmu pengetahuan
yang disampaikan oleh manusia pilihan Tuhan kepada umat manusia
DAFTAR PUSTAKA
Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1998
Jujun S. Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan
Populasi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
1998
Ahmad Tafsir Filsafat
Umum, (Bandung, 1990).
Al-Ghazali, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan,
Jujun S.
Suriasuantrim Filsafah Ilmu, Sebuah Pengembangan Populasi. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 1998
Cecep Sumarna. 2006. Filsafat Ilmu
;dari Hakikat menuju Nilai. Bandung: Pustaka Bani Quraisy
H.Jono,Cecep Sumarna.2006. Melacak
Jejak Filsafat. Bandung: Sangga Buana
Jujun S. Sumantri.2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Jujun S. Sumantri.2005. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Maksum, Ali. 2009. Pengantar filsafat dari masa klasik hingga
postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
[2] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu (dari
Hakikat menuju Nilai), (Bandung: Pustaka Bani Quraisy 2006), hal. 95
[4] Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Edisi Ketiga. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Balai Pustaka.
Jakarta. 2002
[5] M. Amin
Abdullah, Studi Agama ; Normativitas atau Historisitas?, ( Yogyakarta : Pustaka
Palajar, 1999 ) hlm. 246
[6] Jika disebut masyarakat relegius berarti juga mencakup para
agamawan dan mistikiawan dan sebutan lainnya. Istilah-istilah ini bagi penulis
hampir sama makna misinya walaupun mempunyai rasa kebahasaan yang berbeda
[7] Mircea Eliade, Sakral dan
Profan, Mircea mengistilahkan masyarakat relegius dengan “Homo relegiuos”.
Cirinya selalu percaya bahwa ada sebuah realitas absolute,sacral dan
transendental namun memanifestasikan dirinya dalam dunia ini. Tidak sulit untuk
membedakan masyarakat relegius dengan yang tidak. Manusia non-relegius menolak
transendental, menerima relativisme realitas dan bahkan meragukan eksistensi.