Kamis, 24 November 2011

KEBIJAKAN PENGELOLAAN PASAR DI KOTA BANDUNG

Pendahuluan

Kebijakan yang mengatur pengelolaan pasar di Kota Bandung telah diwadahi dalam Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung. Namun, perda ini belum memuat konsep pengelolaan pasar secara komprehensif. Masih banyak permasalahan dalam pengelolaan pasar yang belum diatur dalam perda ini, misalnya pengaturan mengenai batas radius pasar modern dengan pasar tradisional; bongkar-muat komoditi; kemitraan swasta dan pedagang tradisional; pengaturan mengenai perdagangan informal yang masih bergabung dengan pasar tradisional yang maupun ketentuan standar kualitas komoditi yang akan dijual.
Sebagai akibat dari longgarnya pengelolaan pasar tersebut berdampak pada munculnya masalah persaingan yang tidak seimbang antara pasar tradisional dengan pasar modern. Pasar tradisional telah kalah segala-galanya, diantaranya penerapan harga, kenyamanan tempat, dan kelengkapan produk yang ditawarkannya. Pada sisi lain, pasar modern semakin melengkapi diri dengan segala fasilitas yang memudahkan dan membuat konsumen nyaman. Selain itu tentu saja kemampuan modal pasar modern yang kuat membuat mereka mampu menekan harga jual pada konsumen.
Pemerintah Daerah sebenarnya telah berupaya memperbaiki penampilan pasar tradisional yang selama kondisinya kumuh dan semrawut. Pemerintah Kota Bandung merenovasi bangunan pasar untuk menarik kembali minay pembeli untuk berbelanja di pasar tradisional. Dengan menjalin kerjasama bersama investor, Pemerintah Kota telah melakukan renovasi fisik di sejumlah pasar tradisional, seperti Pasar Kosambi, Pasar Kebon Kelapa, Pasar Baru, dan Pasar Gedebage, agar terlihat lebih modern. Namun, upaya ini ternyata berujung pada permasalahan baru karena banyak pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru. Ada pula pedagang yang memilih berjualan di luar kompleks pasar karena di dalam tidak laku, terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai.
Alih-alih meningkatkan daya saing para pedagang tradisional, kenyataannya program renovasi pasar tradisional justru menyebabkan para pedagang tradisional menjadi semakin termarginalkan di tengah derasnya arus kapitalisme. Kondisi inilah yang melatarbelakangi perlunya pengkajian mengenai kebijakan pengelolaan pasar yang dilakukan Pemerintah Kota Bandung.
Carut marutnya permasalahan pengelolaan pasar di Kota Bandung tidak terlepas dari kondisi normatif yang telah ada. Oleh karena itu penting kiranya untuk melihat bagaimana evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bandung. Sementara itu, saat ini diperlukan suatu model alternatif yang dapat memberikan solusi agar pasar tradisional dapat terevitalisasi, sehingga mereka mampu bersaing di tengah-tengah keberadaan pasar modern.







Analisa kekurangan dan kelebihan kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bandung

Kota Bandung memiliki potensi di sektor perdagangan di mana PDRB nya mencapai 31,91% (2003). Untuk mengelola sektor perdagangan maka diperlukan penataan wilayah perdagangan sesuai dengan RT RW Kota Bandung. Perkembangan pusat kegiatan perdagangan masih dirasakan kurang untuk wilayah Bandung Timur. Faktor pendukungnya, penduduk wilayah Bandung berkembang pesat, dengan tumbuhnya pembangunan pemukiman, telah terjadi pemekaran kecamatan dan kelurahan, namun hal ini tidak ditunjang dengan pertumbuhan investasi karena investor masih belum mau menanamkan modalnya di wilayah Bandung Timur.
Pengaturan tentang pengelolaan pasar kemudian diawadahi dalam Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung Nomor 17 Tahun 1996 tentang Pengurusan Pasar-pasar di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung, yang kemudian diubah dengan Perda No. 19 Tahun 2001 belum sepenuhnya mampu mendorong tingkat kesejahteraan masyarakat karena perda ini hanya mengatur pengklasifikasian pasar menurut golongan dan jenis; ketentuan mengenai pendirian/pembangunan pasar dan penghapusan pasar; penunjukan dan pemakaian tempat berjualan; penyelenggaraan reklame, parkir, dan kebersihan di areal pasar; retribusi; ditetapkan oleh Walikota sebagai tempat berjualan umum atau sebagai tempat memperdagangkan barang dan atau jasa yang berdiri di lahan milik/dikuasai Pemerintah Daerah”. Selanjutnya ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pasar tradisional adalah “pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Masyarakat dengan tempat usaha berupa toko, kios dan meja yang dimiliki/dikelola oleh pedagang dengan usaha skala kecil dan modal kecil dan dengan proses jual beli melalui tawar menawar”.
Kedua definisi di atas tidak menempatkan pasar dalam konsepsi dan pemaknaan yang sesungguhnya, sebagai tempat berlangsungnya interaksi lintas strata sosial dalam suatu masyarakat, tapi sebatas tempat berjualan umum. Bahkan pendefinisian pasar tradisional semakin tereduksi dengan kriteria serba “marginal”, seperti tempat usaha berskala kecil, modal kecil, dan proses transaksinya melalui tawar-menawar. Berdasarkan definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa paradigma pengelolaan pasar yang terkandung dalam perda tersebut sangat bernuansa ekonomi-kapitalistik. Paradigma inilah yang kemudian mendasari model revitalisasi pasar tradisional yang diterapkan di Kota Bandung selama ini, yakni model yang berbasis pada penguasaan kapital. Paradigma ini berkembang sebagai konsekuensi dari pemahaman yang mengidentikan otonomi daerah dengan kemandirian secara finansial, sehingga kepentingan akumulasi kapital menjadi sangat berpengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan berbagai kebijakan.
Kepentingan ini berlindung di balik jargon peningkatan PAD, yang dalam kasus pengelolaan pasar dijabarkan melalui kemudahan pemberian izin bagi pasar-pasar modern. Padahal, dalam berbagai peraturan, seperti Surat Keputusan Bersama Menperindag dan Mendagri No. 145/MPP/Kep/5/1997 dan No. 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan, juga Keputusan Menperindag No. 261/MPP/Kep/7/1997 dan Keputusan Menperindag No. 420/MPP/Kep.10/1997 serta Surat Edaran Gubernur Jawa Barat sejak tahun 2004 kepada Bupati dan Walikota telah diatur mengenai pembatasan izin pasar modern berskala besar, tapi keberadaan peraturan-peraturan tersebut seolah tidak dipatuhi oleh para walikota dan bupati, termasuk di Kota Bandung.
Dalam kasus Kota Bandung, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis. Di satu sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang ada karena sebanyak 36 pasar tradisional di Kota Bandung merupakan sumber PAD yang sangat potensial. Namun, di sisi lain, Pemerintah Kota tidak mempunyai dana untuk merevitalisasi pasar. APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung tidak pernah membuat pos khusus untuk penataan pasar, sehingga Pemerintah Kota selalu melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar.
Pada anggaran tahun 2005, target PAD yang hendak diraih Dinas Pengelolaan Pasar Kota Bandung adalah Rp 4.557.750.000,00. Target PAD itu berasal dari retribusi pasar, ketertiban, fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK), Surat Pemakaian Tempat Berjualan (SPTB), dan kontribusi pasar swasta. Anggaran biaya belanja Dinas Pengelolaan Pasar sendiri pada tahun 2005 mencapai lebih dari Rp 5 milyar (Dinas Pengelolaan Pasar, 2007). Kondisi keuangan ini menjadi pendorong sehingga Pemerintah Kota tampaknya lebih mempertimbangkan kepentingan investor atau para pengusaha yang menanamkan modal dibanding mempertimbangkan nilai etis pembangunan yakni mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan dari belenggu kemiskinan.
Maraknya pembangunan pasar-pasar modern justru dipertanyakan kemanfaatan secara meluas, karena melahirkan ketimpangan. Mal menyodot keuntungan pedagang kecil, dan mengalir ke supermarket-supermarket itu. Berdasarkan data AC Nielsen, kontribusi penjualan pasar tradisional memang terus merosot. Bila pada tahun 2002, dominasi penjualan di segmen pasar ini mencapai 75%, maka pada tahun lalu turun menjadi hanya 70% (Sujito, 2005). Dengan demikian pasar tradisional juga kian tersingkirkan. Tidak heran jika muncul sengketa dan resistensi para pedagang tradisional yang telah lama menghuni pasar-pasar desa atau perkampungan. Bahkan model restrukturisasi pasar tradisional yang dibangun “atas nama kelayakan” juga melahirkan persoalan baru, karena makin mahalnya pengelolaan pasar bergaya modern itu dan akibatnya harga sewa tidak terjangkau oleh pedagang. Menurut Pemkot Bandung, permasalahan yang paling krusial dalam pengelolaan pasar tradisional dan modern di Kota Bandung meliputi: (1) pembatasan perkembangan pusat belanja di wilayah pusat kota; (2) mendorong pengembangan pusat belanja diwilayah timur dan tenggara (pinggiran) kota sesuai dengan arahan struktur ruang kota; (3) belum ada pengembangan sektor penunjang dan mekanisme insentif/disinsentif; serta (4) prioritas pengembangan pusat belanja di wilayah Gedebage. Untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut, upaya yang telah dilakukan adalah melalui pembatasan pusat perdagangan di pusat kota dengan merencanakan pengembangan wilayah Bandung Timur-Tenggara. Pengembangan kawasan perbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi distimulasi dengan pusat-pusat belanja skala lingkungan dan mekanisme insentif berupa kemudahan perizinan, kemudahan memperoleh lahan dan pembangunan infrastruktur penunjang pusat belanja.

Konflik antara pedagang pasar tradisional dengan pengelola dan Pemerintah Kota. Disebabkan:

1.      Dinas Pengelola Pasar sebagai leading sector tidak memiliki konsep yang jelas mengenai model revitalisasi pasar tradisional, sehingga sangat tergantung pada desain yang ditawarkan pengembang, apalagi keterbatasan dana turut memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam bernegosiasi dengan pengembang. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah Kota justru dirugikan ketika ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak berhasil dan pengembang akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi tersebut pada Pemerintah Kota.
2.      Tidak adanya political will dari Pemerintah Kota untuk membangun kesepahaman antara pemerintah dengan para pedagang di pasar tradisional tentang model revitalisasi yang akan diterapkan.
3.      Tidak ada mekanisme untuk mencapai konsensus untuk menjembatani kepentingan berbagai kelompok. Konflik kepentingan merupakan kewajaran dalam proses kebijakan, namun pada saat yang sama harus direspon secara baik oleh pengambil keputusan. Pemerintah Kota sebagai pemegang otoritas seyogianya dapat berperan lebih besar dalam mencari konsensus untuk mengelola kepentingan pihak-pihak yang terkait dalam pengelolaan pasar. Konsensus tersebut dapat diperbaharuhi untuk memastikan agar misi kebijakan tercapai dan pada saat yang sama, pihak yang menerima dampak dapat merelakannya. Pemerintah Kota menggunakan mekanisme perizinan sebagai alat untuk meredam konflik kepentingan, namun dalam pelaksanaannya, perizinan dalam pendirian ataupun pengelolaan pasar hanya sebatas formalitas.

Konsep revitalisasi pasar tradisional lebih luas dari sekedar perubahan pada fisik bangunannya saja, tetapi juga harus ada konsep bagaimana mendinamiskan pasar. Kasus-kasus yang diuraikan di atas menunjukkan bahwa hampir setiap upaya revitalisasi pasar tradisional, yang salah satunya menyediakan pula lapak-lapak atau kios-kios baru bagi para pedagang pasar tumpah, berujung pada ketidakpuasan pedagang karena informasi mengenai rencana dan pelaksanaan revitalisasi pasar tidak menyentuh semua pedagang, hanya para perwakilannya saja.


Ref.
Bandung Dalam Angka, 2003.
Bujet Edisi 05/III/Juli – Agustus 2005
download dari www.ireyogya.org

Fsikologi Dakwah Mama Cibitung


بسم الله لرحمن الرحيم
Sampainya Islam hingga sekarang tak luput dari sebuah perjuangan keras para pendahulu kita, usaha yang maksimal sehingga islam mampu diterima dengan lapang dada oleh para pendengarnya. Kebijakan dan kearifan sang da’i akan lebih mampu mempermudah jalannya dakwah yang dilakukan dengan tanpa memperkeruh suasana yang sedang dihadapi.
Berbicara fsikologi ternyata para da’i terdahulu sudah menerapkan dengan sempurna walaupun mereka tak belajar secara langsung bagaimana cara berinteraksi dengan menggunakan bahasa kebutuhan yang tak terungkapkan sehingga antara kebutuhan dan keinginan mampu menjadi kolaborasi yang indah dalam satu rel syar’eat islam.
  Beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama terdahulu kebanyakan melakukan pendekatan budaya. Hal ini serasa lebih efektif karena cara ini mampu memberikan sumbangsi yang sangat besar bagi laju perkembangan dakwah. Seperti halnya yang di lakukan oleh KH. MUHAMMAD ILYAS yang lebih dikenal dengan panggilan Mama Cibitung, beliau lahir di Lembur Gede Cibitung pada tahun 1836 M. (tak diketahui tanggal lahirnya) beliau wafat pada tahun 1953 (usia 117 tahun) di Sukamanah Cibitung.
Sepulangnya dari Mekkah, beliau kembali belajar pada Mama KH. Yasin Sodong Cianjur, namun malah disuruh mengajar di Pesantrennya di Sodong Cianjur selama satu tahun, setelah itu disuruh mukim dan menikah tahun 1871 dengan Wastijah salah seorang putri Mama KH, Husen Pasir Gombong Cibitung. Semula beliau mukim bersama ayahandanya di Lembur Gede Cibitung. Tidak diketahui apa penyebabnya yang membuat hati beliau selalu gundah. Kemudian beliau membeli sebidang tanah dari uang hasil usaha sendiri dan setengahnya dari uang istri beliau. Sebidang tanah tersebut terletak di pinggir Sungai Cijambu, ditempat baru ini hati beliau menjadi tenang, itulah sebabnya tempat ini beliau beri nama Sukamanah.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa masyarakat Gunung-halu telah mengenal islam sejak pertengahan abad ke-19 . Namun saat itu persoalan ketauhidan belum begitu tertanam kokoh pada dan belum menjadi ideologi masyarakat, karena masih bercampur dengan paham lokal yang penuh dengan aroma mejik dan perbuhunan. Sehingga ada yang mengatakan bahwa pada zaman dulu pendidikan di pesantren-pesantren tidak begitu fokus terhadap pengkajian ilmu-ilmu agama. Sekalipun ada pengkajian ke-islam-an hanya terbatas pada  jampe-jampe  (do’a-do’a yang tidak berlandaskan hadits). Selain itu, para santri lebih fokus untuk mempelajari ilmu-ilmu kebatinan dan ilmu kanuragan.
Sehingga ekses daripada itu, pemahan masyarakat terhadap agama islam sangatlah dangkal serta penyaluran insting ketuhanan mereka masih samar dan belum begitu kuat memegang aqidah islam. Sehingga, pribadahan dan pemujaan bagi mereka masih memerlukan mediasi dan sarana yang berwujud benda. Dalam setiap momen yang berkaitan dengan spiritualitas, mereka masih belum yakin tanpa adanya wasilah yang bisa langsung berinteraksi dengan mereka sehingga, mereka masih mempertahankan praktek upacara-upacara trdisional, pembacaan jampe-jampe dan pemujaan pada benda pusaka dan perkakas keramat yang telah diwariskan oleh orang tua mereka.
Hal itu masih terus berkembang dalam budaya dan kehidupan masyarakat Sukamanah. Salah satu contohnya, ketika mereka ingin mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Swt. mereka tidak akan merasa puas dengan ucapan basmallah saja kecuali dibarengi dengan ritual ngukus  serta harus melibatkan seseorang yang dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi dengan jin. Hal ini dilakukan supaya syukuran dan do’a yang mereka panjatkan bisa sampaikepada-Nya berkat tawasul pada karuhun. Hal seperti itu dilakukan atas dasar kepercayaan yang bercampur antara pemahaman islam dengan budaya lokal yang telah diwariskan secara turun temurun.
Mama terkenal dengan kegigihannya dalam berdakwah segingga sudah menjadi kebiasaan sepulangnya dari kebun dia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah warga yang beliau anggap masih memiliki kepercayaan terhadap perkara tahaul. Dengan alasan numpang untuk melaksanakan shalat dzuhur beliau selalu sengaja membuka dakwah dengan cara berkunjung rumah-kerumah (door to door) baik yang berada di kampung tempat kediamannya maupun kampung lain yang berada di sekitar sukamanah. Dengan cara ini beliau memilih cara yang tepat karena beliau bisa dengan bebas menerangkan kepada orang yang beliau kunjungi tentang tauhid dan dosa-dosa syirik.
Gaya berdakwah seperti ini memang menjadi salah satu kelebihannya sehingga tidak sedikit masyarakat yang merasa tertarik mengikuti apa yang telah ia ajarkan karena sekalipun beliau selalu keras dan terang-terangan menyatakan tentang dosa syirik di depan masyarakat yang masih memelihara benda-benda pusaka. Namun beliau bersikap sangat lembut dan penuh kharismatik dalam menjalin hubungan dengan masyarakat sehingga, seorangpun tidak ada yang berani menentang kepadanya.
Dalam hal memberantas kemunkaran, beliau melakukannya dengan cara-cara yang lemah lembut, seperti yang dituturkan putra beliau, KH. Abdul Halim, bahwa ketika menghadapi orang yang .membawa domba adu, beliau mengelus-elus domba itu, sambil berkata : “ Domba kagungan saha ieu teh meni kasep, komo lamun teu diadukeun mah pasti kasep pisan “. Seketika itu tukang mengadu domba, berhenti dari kebisaan mengadu dombanya, berubah menjadi orang yang ta’at beragama.
Itulah sekilas perjalanan dakwah Mama, ada beberapa yang perlu di garis bawahi dalam fsikologi dakwah beliau diantaranya:
1.      Dakwah bil hal
2.      Door to dorr and man to man
3.      Pendekatan Kebudayaan
Keistimewaan Mama Cibitung yang dapat disaksikan sampai saat ini adalah pada saat haolan beliau, yang diselenggarakan setiap tanggal 15 – 22 Robiul Akhir. Haolan ini dihadiri oleh ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai lapisan masyarakat yang berdatangan dari daerah – daerah, terutama Jawa Barat, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra.

Kamis, 03 November 2011

Pelacuran

BAB I
PENDAHULUAN

A.           LATAR BELAKANG MASALAH
Pekerja Seks Komersial (PSK) atau yang biasa dikenal dengan prostitusi(Pelacuran) bukanlah masalah baru akan tetapi merupakan masalah lama yangbaru diangkat. Di lihat dari perkembangan peradaban manusia, hampir semua Negara memiliki permasalahan di bidang prostitusi. Belum ada sebuah Negarayang meniadakan praktek prostitusi selain hanya menertibkannya. Tidak jarang praktek  prostitusi ini ditentang  oleh kaum agamawan  termasuk masyarakat sendiri. Harus dilihat bahwa praktek prostitusi merupakan realitas sosial yang tidak dapat dipungkiri lagi. praktek prostitusi tersebut itu sendir bertentangan dengan moral, susila dan agama yang setiap saat dapat merusak keutuhankeluarga.Istilah  pelacuran  berasal  dari  bahasa  latin pro-situere yang  berarti membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan prostitue dikenal  pula  dengan  istilah  wanita  tuna  susila (WTS). Pelacuran merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering dikatakan setua umur kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada semua negara berbudaya sejak zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial, menjadi objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan berkembangnya teknologi, industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang  pula praktek pelacuran dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.
Para pelacur atau WTS yang menjadikan pelacuran sebagai lapangan kerja tersebut dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan sukarela berdasarkan motivasi tertentu, atau mereka yang melakukannya karena ditawan atau dijebak oleh germo. Di tengah-tengah terjadinya reaksi terhadap praktek prostitusi ternyata tidak membuat kegiatan prostitusi berkurang tetapi justru cenderung bertambah kuantitasnya. Hal ini terjadi karena disamping faktor akulturasi budaya ada juga faktor lain seperti ekonomi maupun karena kondisi tertentu seperti, pengaruh lingkungan dan lain sebagainya.
Pemerintah harus berperan secara maksimal sehingga diharapkan praktek prostitusi  dapat  berkurang  melalui  kegiatan  pembinaan  atas  kerja  sama interdepartemental. Masyarakat pun harus mengambil peran yang maksimal untuk mendukung  peran  pemerintah  khususnya  dalam  upaya  mengurangi  praktek prostitusi. Aparat penegak hukum juga harus bertindak secara tegas dalam menjalankan aturan tentang larangan praktek prostitusi.



BAB II
PEMBAHASAN
A.           DEFINISI PELACURAN
Profesor W.A. Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie menulis definisi sebagai berikut:
Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.[1]
Sarjana P.J. de Bruine menyatakan sebagai berikut.
Prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.
Selanjutnya, beberapa definisi yang di sebutkan dalam buku Patologi Sosial karangan Kartini Kartono menyebutkan:
a.      Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promoskuitas), disertai eksploitasi dan komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.[2]
b.      Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan, dan keperibadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan bayaran.
c.       Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
B.     CIRI-CIRI DAN FUNGSI PELACURAN
Ciri-ciri khas dari pelacur itu ialah sebagai berikut:
1.      Wanita, lawan pelacur ialah gigolo (pelacur laki-laki)
2.      Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya, bisa merangsang selera seks kaum pria.
3.      Masih muda-muda. 75% dari jumlah pelacur di kota-kota ada di bawah 30 tahun. Yang terbanyak ialah 17-25 tahun. Pelacuran kelas rendahan dan menengah acap kali mempekerjakan gadis-gadis pra-puber berusia 11-15 tahun, yang ditawarkan sebagai barang baru.
4.      Pakaian yang sangat mencolok, beraneka warna, sering aneh-aneh, mereka itu biasanya lebih memperhatikan penampilan lahiriahnya, seperti wajah, rambut, pakaian, alat-alat kosmetik, dan farpum yang merangsang.
5.      Menggunakan teknik-teknik seksual yang mekanistik, cepat, tidak hadir secara psikis, tanpa emosi dan afeksi, tidak pernah mencapai orgasme sangat provokatif dalam ber-coitus, dan biasanya dilakukan secara kasar.
6.      Pelacur-pelacur profesional dari kelas rendah dan menegah kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan strata sosial yang rendah. Mereka pada umumnya tidak mempunyai keterampilan dan kurang pendidikan. Modalnya ialah kecantikan dan kemudaannya.
7.      60-80% dari jumlah pelacur ini memiliki intelek yang normal. Kurang dari 5% adalah mereka yang lemah ingatan. Selebihnya adalah mereka yang ada pada garis-garis batas, yang tidak menentu atau tidak jelas derajat intelegensinya.
Namun, bagaimanapun rendahnya kedudukan sosial pelacur, ada pula fungsi pelacuran yang positif sifatnya ditengah-tengah masyarakat, yaitu sebagai berikut:
1.      Menjadi sumber pelancar bisnis
2.      Menjadi sumber kesenangan bagi kaum politisi yang harus berpisah dengan istri dan keluarganya, dan dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu.
3.      Menjadi sumber hiburan bagi kelompok dan individu yang mempunyai pekerjaan mobil misalnya: pedagang, sopir-sopir, pengemudi, anggota tentara, pelaut, polisi, buaya-buaya seks, playboy, pria-pria single atau pria yang baru bercerai, laki-laki iseng dan kesepian, mahasiswa, anak-anak remaja dan adolense yang ingin tahu, suami-suami yang tidak puas di rumah, dan seterusnya.
4.      Menjadi sumber pelayanan bagi orang yang menderita cacat, misalnya: pria yang buruk wajah, pincang, buntung, abnormal secara seksual, dan seterusnya.

C.           BEBERAPA PERISTIWA PENYEBAB TIMBULNYA PELACURAN
Beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran antara lain sebagai berikut:
1.        Tidak adanya undang-undang yang melarang pelcuran, juga tidak adannya larangan bagi orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan.
2.        Adannya keinginan dan dorongan manusia untuk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya diluar pernikahan.
3.        Komersialisasi dari seks, baik dari pihak wanita maupun germo-germo dan oknum-oknum tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks.
4.        Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat-saat orang mengenyam kesejahteraan hidup; dan pemutarbalikan nilai-nilai pernihakan sejati.
5.        Perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri dan industri yang sangat cepat dan menyerap banyak tenaga buruh pria. Juga peristiwa urbanisasi tanpa adanya jalan keluar untuk mendapatkan kesempatan kerja terkecuali menjadi wanita P bagi anak-anak gadis.

D.           MOTIF-MOTIF YANG MELATARBELAKANGI PELACURAN
Isi pelacuran atau motif-motif yang melatarbelakangi tumbuhnya pelacuran pada wanita itu beraneka ragam. Dibawah ini disebutkan beberapa motif, antara lain sebagai berikut:
1.        Adanya keenderungan melacurkan diri dari pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, dan meraih kesenangan dengan jalan pendek, kurang pengertian, kurang pendidikan sehingga menghalalkan pelacuran.
2.        Ada nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam keperibadian, dasn keroyalan seks. Histeris dan hyperseks sehingga merasa tidak puas melakukan relasi seks dengan satu pria.
3.        Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk mempertahankan kelangsungan hidup, khususnya untuk mendapatk status sosial yang lebih baik.
4.        Rasa melit dan ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang kemudian tercebur dalam dunia pelacuran.

E.            AKIBAT-AKIBAT PELACURAN
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran ialah sebagai berikut:
1.        Menimbulkan dan menyebearluaskan penyakit kelamin dan kulit, penyakit yang paling banyak terdapat ialah syphilis dan gonorhoe (kencing nanah), terutama akibat syphilis, apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna bisa menimbulkan cacat jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak keturunan.[3]
2.        Merusak sendi-sendi kehidupan
3.        Merusak tatanan lingkungan khususnya bagi remaja-remaja pada masa puber.
4.        Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, dan agama.
5.        Bisa menyebabkan disfungsi seksual, misalnya impoten, anorgasme, satiriasis, dan ejakulasi prematur.

F.             Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lihat dari Aspek Hukum Pidana
Pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum. Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada:
1.      Pasal 296[4],  yang bunyinya adalah sebagai berikut :
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan  atau  memudahkan  perbuatan  cabul  oleh  orang  lain,  dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
2.      Pasal  506 yang berbunyi
“Barangsiapa menarik keuntungan dariperbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancamdengan pidana kurungan paling lama satu tahun”.
3.      Pasal 281[5]
Dipidana dengan penjara selama-selamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah;
Ke-1 :   Barang siapa dengan sengaja merusak kesusilaan di hadapan umum;
Ke-2 :   Barang siapa dengan sengaja merusak kesusilaan di muka orang lain yang hadir tidak dengan kemauannya sendiri;
4.      Pasal 284[6]
a.      Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan :
Ke-1 : a. Laki-laki yang beristeri yang berzina sedang diketahuinya, bahwa pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku baginya;
b.   Perempuan yang bersuami yang berzina;
Ke-2 : a.   Laki-laki yang melakukan perbuatan itu, sedang diketahuinya bahwa yang turut bersalah itu bersuami;
b.   Perempuan yang tidak bersuami yang turut melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya, bahwa yang turut bersalah itu beristeri dan pasal 27 Kitab Undang - Undang Hukum Perdata berlaku bagi yang turut bersalah itu;
5.      Pasal 299[7]
1)      Barangsiapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh wanita supaya diobati dengan memberitahu atau menerbitkan perngharapan bahwa oleh karena pengobatan itu dapat gugur kandungannya, dipidana dengan pidana penjara selama-lemanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya empat puluh lima ribu rupiah.
2)      Kalau yang bersalah berbuat karena mencari keuntungan, atau melakukan kejahatan itu sebagai mata pencaharian atau kebiasaan atau kalau ia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidana dapat ditambah sepertiganya.
3)      Kalau yang bersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya, maka dapat di cabut haknya melakukan perkerjaan itu.

Kitab Undang-Undang HukumPidana (KUHP).Yang dilarang dalam KUHP adalah mengeksploitir seksualitas orang lain baik sebagai “pencaharian ataupun kebiasaan” (pasal 296 KUHP) atau ‘menarik keuntungan’ dari pelayanan seks (komersial) seorang perempuan dengan praktek germo (pasal 506 KUHP). Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan hanya diberikan untuk mucikari saja.

G.           Ayat-Ayat Al Qur’an dan Hadits yang melarang pelacuran
1.      Qur’an Surat Al Israa ayat 32
وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.

2.      Qur’an Surat An Nuur ayat 30
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat".

3.      Qur’an Surat Al Furqon ayat 68
وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya),”


4.      Qur’an Surat An Nisa ayat 25
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُمْ بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 4:25)

5.      Qur’an Surat An Nuur ayat 1
سُورَةٌ أَنْزَلْنَاهَا وَفَرَضْنَاهَا وَأَنْزَلْنَا فِيهَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam) nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat-ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya.

6.      Qur’an Surat An Nuur ayat 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ وَلا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.

7.      Qur’an Surat An Nuur ayat 3
الزَّانِي لا يَنْكِحُ إلا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لا يَنْكِحُهَا إِلا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.

8.      Qur’an Surat An Nuur ayat 3
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik

H.    Hadits-Hadits Nabi Tentang Zina Larangan Serta Hukumannya
1.      Dari Ibnu Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, dia berkata: “Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal ditumpahkan darah seorang muslim kecuali karena salah satu di antara tiga alasan: orang yang telah kawin melakukan zina, orang yang membunuh jiwa (orang muslim) dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
2.      Di antara tanda-tanda kiamat ialah ilmu terangkat, kebodohan menjadi dominan, arak menjadi minuman biasa, zina dilakukan terang-terangan, wanita berlipat banyak, dan laki-laki berkurang sehingga lima puluh orang wanita berbanding seorang pria. (HR. Bukhari)
3.      Ada tiga jenis orang yang diharamkan Allah masuk surga, yaitu pemabuk berat, pendurhaka terhadap kedua orang tua, dan orang yang merelakan kejahatan berlaku dalam keluarganya (artinya, merelakan isteri atau anak perempuannya berbuat serong atau zina). (HR. An-Nasaa'i dan Ahmad).
4.      Dari Ibnu Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, dia berkata: “Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal ditumpahkan darah seorang muslim kecuali karena salah satu di antara tiga alasan: orang yang telah kawin melakukan zina, orang yang membunuh jiwa (orang muslim) dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
5.      Saling berwasiatlah kalian tentang kaum wanita dengan baik-baik. Mereka itu adalah tawanan di tanganmu. Tiada kalian bisa menguasai apa-apa dari mereka, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji (zina), pisahkanlah diri kalian dari tempat tidur mereka atau lakukan pemukulan yang tidak membekas. Apabila mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Kalian punya hak atas mereka dan mereka pun punya hak atas kalian. Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan tempat tidur kalian diinjak oleh orang yang tidak kalian sukai, dan hak mereka atas kalian adalah memberi sandang-pangan kepada mereka (isteri-isterimu) dengan yang baik-baik. (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi)
6.       
عَنِّ عِبَادَةِ بِنْ الصَّائِمَةِ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اِذَ نَزَلَ عَلَيْهِ اَلَّوَحْيُ كَرَبَ لَهُ وَتَرَتَّبَ وَجْهَهُ فَاَنْزَلَهُ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَقِيَ كَذَلِكَ فَلَمَّا سُرِيَ عَنْهُ قَالَ: (خُذُوْ عَنِّي وَ خُذُوْ عَنِّي ثَلَاثَ مِرَارً قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيْلَا اَلْبِكْرُ بِالْبِكْرِ, جَلْدٌ مِأَةٍ وَنَقِيُ سَنَةٍ, وَ الثَّيِّبُ جَلْدٌ مِأَةٍ وَنَقِيُ سَنَةٍ, وَ الثَّيِّبُ جَلْدٌ مِأَةٍ وَ الرَّجْمُ. (اَجْرَجَهُ مُسْلِمْ, اَبُوْدَاوُدْ وَ التِّرْمِذِيُّ)
Ubadah bin Tsamit menuturkan “setiap kali wahyu turun, Rasululloh Saw. Merasa sakit dan roman wajahnya berubah, suatu hari Alloh menurunkan wahyu kepada Rasululloh Saw. Beliaupun merasakan hal sama  setelah tidak bersedih lagi Rasolulloh bersabda ambilah dariku tigas kali, ambillah dariku, ambillah dariku, ambillah dariku, sampai tiga kali. Alloh memberi jalan lain bagi mereka. Hukuman zina perawan lajang adalah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama 1 tahun. Hukuman zina janda adalah dicambuk 100 kali dilempari batu (rajam). (HR. Muslim, Abu Dawud, dan tirmidzi).

I.              PENANGGULANGAN PROSTITUSI
Usaha ini antara lain berupa:
1.      Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran;
2.      Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan;
3.      Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekasi bagi anak-anak puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya;
4.      Memperluas lapangan pekerjaan bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya;
5.      Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film biru, dan sarana-sarana lain yang merangsang pelacuran;

BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
Penerapan Kebijakan hukum pidana dalam hal Penanggulangan terhadap masalah prostitusi (pelacuran) kurang efektif, hal tersebut disebabkan masalah-masalah terhadap :
a.       Penerapan terhadap substansi hukum, bahwa dalam KUHP tidak ada satu pasal pun yang mengkategorikan pelayanan seks komersial sebagai suatu tindakan kriminal ataupun pelanggaran pidana. Yang dilarang dalam KUHP  adalah  mengeksploitir  seksualitas  orang  lain  baik  sebagai “pencaharian ataupun kebiasaan” (pasal 296) atau ‘menarik keuntungan’dari pelayanan seks (komersial) seorang perempuan dengan praktek germo(pasal 506).
b.      Penerapan  struktur  hukum,  bahwa  aparat  penegak  hukum  dalam menanggulangi pelacuran jarang melakukan razia dan malahan, ada pula oknum aparat ikut terlibat dalam praktek-praktek pelacuran.
c.       Penerapan  budaya  hukum,  bahwa  masyarakat  sebagian  mendukung adanya pelacuran karena mereka merasa diuntungkan dari praktek-praktek pelacuran tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Pers
Sugandhi, 1981, KUHP Dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional Surabaya
Ringkasan Shahih Bukhari Muslim


[1] Prof. W.A Bonger, De Maatschappelijke Oorzaken der Prostitutie, Verspreide Geschriften, dell II, Amsterdam, 1950. (terjemahan B. Simanjuntak, Mimbar Demokrasi, Bandung, April 1967).
[2]  Dr. Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1981. Hal 216
[3] Kartini Kartono, Psikologi Abnormal & Patologi Seks. ALUMNI, Bandung: 1979, hlm 69-76
[4] Sugandhi, KUHP Dengan Penjelasannya, Usaha  Nasional Surabaya, Surabaya : 1981, hal. 313
[5] Ibid. Hal 295
[6] Ibid. Hal 299

[7] Ibid. Hal 316