Pendahuluan
Kebijakan
yang mengatur pengelolaan pasar di Kota Bandung telah diwadahi dalam Perda No.
19 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Pasar di Kota Bandung. Namun, perda ini belum
memuat konsep pengelolaan pasar secara komprehensif. Masih banyak permasalahan
dalam pengelolaan pasar yang belum diatur dalam perda ini, misalnya pengaturan
mengenai batas radius pasar modern dengan pasar tradisional; bongkar-muat
komoditi; kemitraan swasta dan pedagang tradisional; pengaturan mengenai
perdagangan informal yang masih bergabung dengan pasar tradisional yang maupun
ketentuan standar kualitas komoditi yang akan dijual.
Sebagai
akibat dari longgarnya pengelolaan pasar tersebut berdampak pada munculnya
masalah persaingan yang tidak seimbang antara pasar tradisional dengan pasar
modern. Pasar tradisional telah kalah segala-galanya, diantaranya penerapan
harga, kenyamanan tempat, dan kelengkapan produk yang ditawarkannya. Pada sisi
lain, pasar modern semakin melengkapi diri dengan segala fasilitas yang
memudahkan dan membuat konsumen nyaman. Selain itu tentu saja kemampuan modal
pasar modern yang kuat membuat mereka mampu menekan harga jual pada konsumen.
Pemerintah
Daerah sebenarnya telah berupaya memperbaiki penampilan pasar tradisional yang
selama kondisinya kumuh dan semrawut. Pemerintah Kota Bandung merenovasi
bangunan pasar untuk menarik kembali minay pembeli untuk berbelanja di pasar
tradisional. Dengan menjalin kerjasama bersama investor, Pemerintah Kota telah
melakukan renovasi fisik di sejumlah pasar tradisional, seperti Pasar Kosambi,
Pasar Kebon Kelapa, Pasar Baru, dan Pasar Gedebage, agar terlihat lebih modern.
Namun, upaya ini ternyata berujung pada permasalahan baru karena banyak
pedagang lama yang tersingkir akibat tidak mampu membeli kios baru. Ada pula pedagang
yang memilih berjualan di luar kompleks pasar karena di dalam tidak laku,
terutama di pasar yang bangunannya lebih dari satu lantai.
Alih-alih
meningkatkan daya saing para pedagang tradisional, kenyataannya program
renovasi pasar tradisional justru menyebabkan para pedagang tradisional menjadi
semakin termarginalkan di tengah derasnya arus kapitalisme. Kondisi inilah yang
melatarbelakangi perlunya pengkajian mengenai kebijakan pengelolaan pasar yang
dilakukan Pemerintah Kota Bandung.
Carut
marutnya permasalahan pengelolaan pasar di Kota Bandung tidak terlepas dari
kondisi normatif yang telah ada. Oleh karena itu penting kiranya untuk melihat
bagaimana evaluasi terhadap kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bandung.
Sementara itu, saat ini diperlukan suatu model alternatif yang dapat memberikan
solusi agar pasar tradisional dapat terevitalisasi, sehingga mereka mampu
bersaing di tengah-tengah keberadaan pasar modern.
Analisa
kekurangan dan kelebihan kebijakan pengelolaan pasar di Kota Bandung
Kota
Bandung memiliki potensi di sektor perdagangan di mana PDRB nya mencapai 31,91%
(2003). Untuk mengelola sektor perdagangan maka diperlukan penataan wilayah
perdagangan sesuai dengan RT RW Kota Bandung. Perkembangan pusat kegiatan
perdagangan masih dirasakan kurang untuk wilayah Bandung Timur. Faktor
pendukungnya, penduduk wilayah Bandung berkembang pesat, dengan tumbuhnya
pembangunan pemukiman, telah terjadi pemekaran kecamatan dan kelurahan, namun
hal ini tidak ditunjang dengan pertumbuhan investasi karena investor masih
belum mau menanamkan modalnya di wilayah Bandung Timur.
Pengaturan
tentang pengelolaan pasar kemudian diawadahi dalam Peraturan Daerah Kotamadya
Daerah Tingkat II Bandung Nomor 17 Tahun 1996 tentang Pengurusan Pasar-pasar di
Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung, yang kemudian diubah dengan Perda
No. 19 Tahun 2001 belum sepenuhnya mampu mendorong tingkat kesejahteraan
masyarakat karena perda ini hanya mengatur pengklasifikasian pasar menurut golongan
dan jenis; ketentuan mengenai pendirian/pembangunan pasar dan penghapusan
pasar; penunjukan dan pemakaian tempat berjualan; penyelenggaraan reklame,
parkir, dan kebersihan di areal pasar; retribusi; ditetapkan oleh Walikota
sebagai tempat berjualan umum atau sebagai tempat memperdagangkan barang dan
atau jasa yang berdiri di lahan milik/dikuasai Pemerintah Daerah”. Selanjutnya
ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan pasar tradisional adalah “pasar yang
dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Swasta, Koperasi atau Swadaya Masyarakat
dengan tempat usaha berupa toko, kios dan meja yang dimiliki/dikelola oleh
pedagang dengan usaha skala kecil dan modal kecil dan dengan proses jual beli
melalui tawar menawar”.
Kedua
definisi di atas tidak menempatkan pasar dalam konsepsi dan pemaknaan yang
sesungguhnya, sebagai tempat berlangsungnya interaksi lintas strata sosial
dalam suatu masyarakat, tapi sebatas tempat berjualan umum. Bahkan
pendefinisian pasar tradisional semakin tereduksi dengan kriteria serba
“marginal”, seperti tempat usaha berskala kecil, modal kecil, dan proses
transaksinya melalui tawar-menawar. Berdasarkan definisi tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa paradigma pengelolaan pasar yang terkandung dalam
perda tersebut sangat bernuansa ekonomi-kapitalistik. Paradigma inilah yang
kemudian mendasari model revitalisasi pasar tradisional yang diterapkan di Kota
Bandung selama ini, yakni model yang berbasis pada penguasaan kapital.
Paradigma ini berkembang sebagai konsekuensi dari pemahaman yang mengidentikan
otonomi daerah dengan kemandirian secara finansial, sehingga kepentingan
akumulasi kapital menjadi sangat berpengaruh dalam perumusan dan pelaksanaan
berbagai kebijakan.
Kepentingan
ini berlindung di balik jargon peningkatan PAD, yang dalam kasus pengelolaan
pasar dijabarkan melalui kemudahan pemberian izin bagi pasar-pasar modern.
Padahal, dalam berbagai peraturan, seperti Surat Keputusan Bersama Menperindag
dan Mendagri No. 145/MPP/Kep/5/1997 dan No. 57 tahun 1997 tentang Penataan dan
Pembinaan Pasar dan Pertokoan, juga Keputusan Menperindag No.
261/MPP/Kep/7/1997 dan Keputusan Menperindag No. 420/MPP/Kep.10/1997 serta
Surat Edaran Gubernur Jawa Barat sejak tahun 2004 kepada Bupati dan Walikota
telah diatur mengenai pembatasan izin pasar modern berskala besar, tapi
keberadaan peraturan-peraturan tersebut seolah tidak dipatuhi oleh para
walikota dan bupati, termasuk di Kota Bandung.
Dalam
kasus Kota Bandung, Pemerintah Kota berada dalam posisi yang dilematis. Di satu
sisi, Pemerintah Kota ingin merevitalisasi pasar-pasar tradisional yang ada
karena sebanyak 36 pasar tradisional di Kota Bandung merupakan sumber PAD yang
sangat potensial. Namun, di sisi lain, Pemerintah Kota tidak mempunyai dana
untuk merevitalisasi pasar. APBD Provinsi Jawa Barat maupun Kota Bandung tidak
pernah membuat pos khusus untuk penataan pasar, sehingga Pemerintah Kota selalu
melibatkan pengembang untuk merevitalisasi pasar.
Pada
anggaran tahun 2005, target PAD yang hendak diraih Dinas Pengelolaan Pasar Kota
Bandung adalah Rp 4.557.750.000,00. Target PAD itu berasal dari retribusi
pasar, ketertiban, fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK), Surat Pemakaian Tempat
Berjualan (SPTB), dan kontribusi pasar swasta. Anggaran biaya belanja Dinas
Pengelolaan Pasar sendiri pada tahun 2005 mencapai lebih dari Rp 5 milyar
(Dinas Pengelolaan Pasar, 2007). Kondisi keuangan ini menjadi pendorong
sehingga Pemerintah Kota tampaknya lebih mempertimbangkan kepentingan investor
atau para pengusaha yang menanamkan modal dibanding mempertimbangkan nilai etis
pembangunan yakni mendasarkan nilai kemanusiaan dan pembebasan dari belenggu
kemiskinan.
Maraknya
pembangunan pasar-pasar modern justru dipertanyakan kemanfaatan secara meluas,
karena melahirkan ketimpangan. Mal menyodot keuntungan pedagang kecil, dan
mengalir ke supermarket-supermarket itu. Berdasarkan data AC Nielsen,
kontribusi penjualan pasar tradisional memang terus merosot. Bila pada tahun
2002, dominasi penjualan di segmen pasar ini mencapai 75%, maka pada tahun lalu
turun menjadi hanya 70% (Sujito, 2005). Dengan demikian pasar tradisional juga
kian tersingkirkan. Tidak heran jika muncul sengketa dan resistensi para
pedagang tradisional yang telah lama menghuni pasar-pasar desa atau
perkampungan. Bahkan model restrukturisasi pasar tradisional yang dibangun
“atas nama kelayakan” juga melahirkan persoalan baru, karena makin mahalnya
pengelolaan pasar bergaya modern itu dan akibatnya harga sewa tidak terjangkau
oleh pedagang. Menurut Pemkot Bandung, permasalahan yang paling krusial dalam
pengelolaan pasar tradisional dan modern di Kota Bandung meliputi: (1)
pembatasan perkembangan pusat belanja di wilayah pusat kota; (2) mendorong
pengembangan pusat belanja diwilayah timur dan tenggara (pinggiran) kota sesuai
dengan arahan struktur ruang kota; (3) belum ada pengembangan sektor penunjang
dan mekanisme insentif/disinsentif; serta (4) prioritas pengembangan pusat
belanja di wilayah Gedebage. Untuk menangani permasalahan-permasalahan
tersebut, upaya yang telah dilakukan adalah melalui pembatasan pusat perdagangan
di pusat kota dengan merencanakan pengembangan wilayah Bandung Timur-Tenggara.
Pengembangan kawasan perbatasan dengan Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi
distimulasi dengan pusat-pusat belanja skala lingkungan dan mekanisme insentif
berupa kemudahan perizinan, kemudahan memperoleh lahan dan pembangunan
infrastruktur penunjang pusat belanja.
Konflik antara pedagang pasar tradisional
dengan pengelola dan Pemerintah Kota. Disebabkan:
1.
Dinas Pengelola Pasar
sebagai leading sector tidak
memiliki konsep yang jelas mengenai model revitalisasi pasar tradisional,
sehingga sangat tergantung pada desain yang ditawarkan pengembang, apalagi
keterbatasan dana turut memperlemah posisi tawar Pemerintah Kota dalam
bernegosiasi dengan pengembang. Akibatnya, dalam sejumlah kasus, Pemerintah
Kota justru dirugikan ketika ternyata desain yang diterapkan pengembang tidak
berhasil dan pengembang akhirnya mengembalikan lagi proyek revitalisasi
tersebut pada Pemerintah Kota.
2.
Tidak adanya political will dari Pemerintah Kota
untuk membangun kesepahaman antara pemerintah dengan para pedagang di pasar
tradisional tentang model revitalisasi yang akan diterapkan.
3.
Tidak ada mekanisme
untuk mencapai konsensus untuk menjembatani kepentingan berbagai kelompok. Konflik
kepentingan merupakan kewajaran dalam proses kebijakan, namun pada saat yang
sama harus direspon secara baik oleh pengambil keputusan. Pemerintah Kota
sebagai pemegang otoritas seyogianya dapat berperan lebih besar dalam mencari
konsensus untuk mengelola kepentingan pihak-pihak yang terkait dalam
pengelolaan pasar. Konsensus tersebut dapat diperbaharuhi untuk memastikan agar
misi kebijakan tercapai dan pada saat yang sama, pihak yang menerima dampak
dapat merelakannya. Pemerintah Kota menggunakan mekanisme perizinan sebagai
alat untuk meredam konflik kepentingan, namun dalam pelaksanaannya, perizinan
dalam pendirian ataupun pengelolaan pasar hanya sebatas formalitas.
Konsep revitalisasi pasar tradisional lebih
luas dari sekedar perubahan pada fisik bangunannya saja, tetapi juga harus ada
konsep bagaimana mendinamiskan pasar. Kasus-kasus yang diuraikan di atas
menunjukkan bahwa hampir setiap upaya revitalisasi pasar tradisional, yang
salah satunya menyediakan pula lapak-lapak atau kios-kios baru bagi para
pedagang pasar tumpah, berujung pada ketidakpuasan pedagang karena informasi
mengenai rencana dan pelaksanaan revitalisasi pasar tidak menyentuh semua
pedagang, hanya para perwakilannya saja.
Ref.
Bandung Dalam
Angka, 2003.
Bujet Edisi
05/III/Juli – Agustus 2005
download
dari www.ireyogya.org