Senin, 19 Desember 2011

Sejarah Berdiri Jam'iyah PERSIS


A.      SEJARAH BERDIRINYA JAM’IYAH DINIYYAH PERSIS
Lahirnya Persis Diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penalaahan agama Islam di kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dan kesadaran akan kehidupan berjamaah, berimamah, berimarah dalam menyebarkan syiar Islam, menumbuhkan semangat kelompok tadarus ini untuk mendirikan sebuah organisasi baru dengan ciri dan karateristik yang khas.
Pada tanggal 12 September 1923, bertepatan dengan tanggal 1 Shafar 1342 H, kelompok tadarus ini secara resmi mendirikan organisasi yang diberi nama “Persatuan Islam” (Persis).[1] Nama persis ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul ijtihad dan jihad, berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Falsafah ini didasarkan kepada firman Alloh Swt [2]“Dan berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang (aturan) Alloh seluruhnya dan janganlah kamu bercerai berai”. Serta sebuah hadits Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, “Kekuatan Alloh itu bersama al-jama’ah”.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani Publishing, Oktober 2009, hal. 470-483) menulis bahwa atas prakarsa Haji Zamzam (1894-1952 M) dan Haji Yunus di Bandung pada 30 Muharram 1342 H/Rabu Legi, 12 September 1923 M. Didirikan organisasi masyarakat Persatuan Islam (Persis) untuk menyatukan pemahaman keislaman di masyarakat Indonesia dengan berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah, Arab Saudi, ini tampil berdakwah sekaligus menentang segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam.
Selain berupaya memurnikan aqidah umat Islam, juga menurut Ahmad Mansur menentang imperialis Barat, Kerajaan Protestan Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol di Indonesia. “Para ulama aktivis organisasi ini, semuanya berupaya membangkitkan kesadaran beragama, kesadaran berbangsa dan bernegara serta menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Pada umumnya, para aktivis menggunakan dana pribadi dalam aktivitas gerakannya,” tulis Ahmad Mansur. Dalam bukunya, Ahmad Mansur Suryanegara juga menguraikan tentang biografi A.Hassan sejak kelahiran sampai mendirikan Persis di Bandung dan Bangil. Bahkan, disebutkan bahwa A.Hasan merupakan tokoh yang menolak asas gerakan kebangsaan atau nasionalisme yang sedang diperjuangkan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Islam Indonesia (PII), Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI)[3].
Dakwah yang dilakukan A.Hassan melalui Persis dengan gerakan pemurnian mendapat tantangan dari masyarakat, bahkan berdebat dengan Mama Adjengan Gedong Pesantren Sukamiskin dan KH.Hidayat dengan latar belakang budaya Sunda.
Sejarah perkembangan pembaharuan keislaman di Indonesia dipelopori oleh lahirnya beberapa jamiyyah diniyyah (organisasi keagaamaan) termasuk jam’iyyah Persatuan Islam (Persis). Persatuan Islam mempunyai posisi yang potensial dalam kehidupan sosial keagamaan di Indonesia. Keberadaannya sebagai organisasi sosial keagamaan mempengaruhi perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, baik yang menyangkut system budaya maupun sistem sosial.[4]
Adalah KH. Zamzam dan H. Muhammad Yunus yang menjadi pelopor lahirnya Jamiyyah Persatuan Islam, pada tanggal 12 September 1923 M / 1 Shafar 1342 H yang diawali dengan seringnya mengadakan diskusi-diskusi atau kajian-kajian kecil yang membahas masalah-masalah keagamaan dan juga mengkritisi masalah-masalah yang terjadi. Sehingga dengan seringnya mereka berkumpul, menjadikan mereka membentuk kelompok penelaah (study club) yang mengkaji, menelaah, dan menguji ajaran yang diterima. Pada saat kaum muslimin Indonesia tenggelam dalam taklid, jumud, tahayul, bid’ah dan syirik.[5]
Persis yang banyak dipengaruhi aliran Wahabiyah ini, tampil berdakwah sekaligus menentang segala praktik-praktik keagamaan yang berasal dari luar ajaran Islam. Selain berupaya memurnikan akidah umat islam, persis juga berperan dalam menentang imperialis barat, kerajaan protestan Belanda dan pemerintahan kolonial Belanda yang bercokol di Indonesia. Para Ulama aktivitis organisasi ini, semuanya berupaya membangkitkan kesadaran beragama, kesadaran berbangsa, dan bernegara serta menumbuhkan kesadaran bersyariah Islam. Pada umumnya, para aktivitis menggunakan dana pribadi dalam aktivitas gerakannya.[6]
Pemberian nama Persatuan Islam, mempunyai pengertian sebagai “Persatuan Pemikiran Islam, Persatuan Rasa Islam, Persatuan Usaha Islam, dan Persatuan Suara Islam. Penamaan ini diilhami oleh firman Alloh.                                                                    
Dalam perkembangan sejarahnya, persatuan islam ini berupaya untuk tetap konsisten dan istiqamah dalam pandanganya tentang ajaran agama Islam yang harus dikembalikan kepada sumbernya yang asli yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah dengan berupaya untuk memberantas tradisi-tradisi masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar sampai ke akar-akarnya, sehingga  menyebabkan Persatuan islam banyak dibenci bahkan di “takuti” oleh masyarakat, yang menyebabkan perkembangan Persis baik dari sisi organisasi maupun dari jumlah anggota tidak mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Tidak seperti organisasi keagamaan yang lain yang masih mempunyai toleransi terhadap tradisi-tradisi yang ada, sehingga mereka mudah diterima oleh masyarakat dan menjadi ormas yang besar di Indonesia.
Tetapi walaupun begitu, Persatuan Islam mempunyai peran dan pengaruh yang sangat strategis dalam proses perkembangan pembaharuan keislaman di Indonesia. Dengan munculnya tokoh-tokoh yang dikenal sebagai jagonya berdebat dan berdiskusi, membuat Persatuan Islam disegani oleh beberapa Organisasi Keagamaan yang lainnya. Bahkan Persatuan Islam menjadi besar karena peran beberapa tokoh-tokohnya yang konsisten dengan pandangannya yang senantiasa menegakan kebenaran walaupun harus berhadapan dengan tantangan dan rintangan yang tidak ringan.

B.       Mengenal Tokoh-Tokoh Persis
 Keberadaan sebuah organisasi sejak awal berdirinya hingga sekarang tidak terlepas dari peran serta para tokohnya. Demikian pula halnya dengan Persis. Organisasi yang pertama kali dibentuk oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus ini telah melahirkan sejumlah tokoh besar. Mereka menjadi tumpuan umat dalam memahami masalah agama.
Selain Ahmad Hassan ( A Hassan ), salah seorang tokoh dan menjadi guru utama Persis, organisasi Islam ini juga melahirkan tokoh lainnya, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Isa Anshary, KHE Abdurrahman, dan KH Abdul Latief Muchtar. Bagaimana sosok dan kiprah mereka?

1.        Ahmad Hasan
Ahmad Hasan atau yang sering dikenal dengan Tuan Hasan adalah salah satu tokoh yang dimiliki oleh Persatuan Islam, ia merupakan pendebat ulung yang terkenal dengan sikap dan pendiriannya yang sangat keras dan konsisten, ia tidak segan-segan menolak berbagai hal yang diyakininya bertentangan dengan Islam, mulai dari masalah ibadah sampai masalah politik. Ia pernah berdebat dengan tokoh-tokoh teras Ahmadiyah seperti Rahmat Ali, Abu Bakar Ayyub, dan Abdul Razak, hasilnya tokoh yang ketiga (Abdul Razak) bertaubat dan mengundurkan diri dari Ahmadiyah Qadiyan. Demikian juga A. Hasan melakukan perdebatan dengan pihak Kristen, sevant day Adventist mengenai kebenaran agama Kristen dan Bibel. Selain itu, tokoh-tokoh pemikir Belanda pun ia ladeni seperti dengan Dierhuis, Eisink dan Prof. Schoemaker.[7]  Tak ketinggalan pula dengan orang-orang atheis juga ia hadapi. Bahkan Presiden Soekarno pun tak luput dari di dakwahi. Ketika soekarno di buang ke Endeh Flores, A Hasan mengirim dan membalas surat kepada soekarno yang menanyakan berbagai persoalan keagamaan. Kurang lebih ada 11 surat menyurat antara Soekarno dan A. Hasan.[8]
Segi-segi kehidupan A. Hasan
Menurut Muhamad Natsir, dalam sambutannya terhadap buku Tamar Djaya (1980). A. Hasan adalah ulama besar, gudang ilmu pengetahuan, dan sumber kakuatan batin dalam menegakkan keimanan dan pendirian.
Beliau seorang penulis karangan yang enak dibaca, baik dari majalah yang beliau terbitkan sendiri, maupun buku-buku yang sengaja ditulisnya. Pada tahun 1956 A, Hasan berkesempatan menunaikan ibadah haji bersama dengan K.H. M. Isa Anshary, E. Abdurahman, Tamar Djaya, Tamim, Emzita, dan lain-lain. Salah satu hal yang paling menarik adalah kejujurannya mengakui bahwa hajinya tidak sah, dan ia mengeluarkan surat pernyataan bagi jemaah Persis yang menyatakan kegagalan hajinya. Padahal E. Abdurahman menyatakan bahwa A. Hasan tetap sah, sebab telah melakukan wukuf di Arafah. Akan tetapi A. Hasan menganggap tidak sah karena tidak sampai melempar jumrah di Mina karena ia dirawat dirumah sakit, dan ia menganggap hajinya tidak sah. Dan ia tidak pernah menyebut dirinya Haji A, Hasan.[9].
 Sebagai seorang keturunan India, A. Hasan selalu berpakaian seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang islam keturunan India, walapun beliau telah lama mengangggap dirinya orang Indonesia. Ia selalu memakai sarung dan kain palekat (madras) dan jas putih tutup leher dengan sepasang sepatu di bawahnya dan peci hitam.
Demikian pula kebiasaan setiap hari dalam memanggil dengan perkataan “Tuan”; ia senang dengan perkataan itu pada lawan bicaranya apakah umurnya sudah tua ataupun muda. A. Hasan selalu akan memanggilnya dengan kat “Tuan” dan ia pun senang pula jikaau dirinya di panggil “Tuan” dari pada disebut “Bapak”. Sehingga ia terkenal dengan panggilan “Tuan Hasan”[10]
Sebagai penulis dia berhasil mengarang buku sejumlah 80 buku yang dikutip dari Tamr Djaja (1980:166-168).

2.        Mohammad Natsir
Dilahirkan di Kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatra Barat, pada 17 Juli 1908. Ia adalah putra pasangan Sutan Saripado-seorang pegawai pemerintah-dan Khadijah. Ia pergi ke Bandung pada 1927 untuk melanjutkan studinya di AMS A-2 (setingkat SMA sekarang).
Di Kota Kembang ini, minat Natsir terhadap agama semakin berkembang. Karena itu, selama di Bandung, Nastir berusaha memperdalam ilmu agamanya dengan mengikuti pengajian-pengajian Persis yang disampaikan Ahmad Hassan.
Selain itu, Natsir juga mengikuti pelajaran agama di kelas khusus yang diadakan oleh Ahmad Hassan untuk anggota muda Persis yang sedang belajar di sekolah milik Pemerintah Belanda. Bahkan, dengan inisiatif Natsir, Persis kemudian mendirikan berbagai lembaga pendidikan, antara lain Pendidikan Islam (Pendis) dan Natsir sebagai direkturnya (1932-1942) serta Pesantren Persatuan Islam pada 4 Maret 1936.
Keberadaan sekolah-sekolah ini ditujukan untuk membentuk kader-kader yang mempunyai keinginan memperdalam dan mampu mendakwahkan, mengajarkan, dan membela ajaran Islam. Natsir adalah orang yang terlibat langsung dalam proses kaderisasi di bawah bimbingan Ahmad Hassan.
Dengan demikian, Natsir mempunyai hubungan yang dekat dengan Persis. Di bawah kepemimpinannya, Persis menjelma menjadi organisasi yang bukan hanya berupa kelompok diskusi atau pengajian tadarusan kelas pinggiran, melainkan sebuah organisasi Islam modern yang potensial. Dalam waktu singkat, ia berhasil menempatkan Persis dalam barisan organisasi Islam modern.
Muhammad Natsir yang merupakan murid terbaik A. Hasan menjadikan Persis semakin mengemuka dalam pergaulan nasional, ia mampu melambungkan pemikiran-pemikiran persis ke pentas nasional, mampu merekayasa dan berdampak pada tatanan sosial masyarakat Indonesia. Bahkan kesuksesan intelektualitas Natsir mencapai puncaknya saat diangkat menjadi perdana menteri pertama dalam sejarah Indonesia.[11] Ada satu hal yang mesti mejadi teladan bagi kita, khususnya para pejabat di Indonesia juga umumnya kita selaku generasi-genarasi muda penerus perjuangan Islam. Bahwa ternyata walaupun M. Natsir menjabat sebagai perdana menteri juga 3 kali menjadi menteri penerangan tidak membuat dirinya silau terhadap kekayaan juga pasilitas yang mewah. Penulis buku Nationalism and Revolution in Indonesia ini sempat terheran-heran dengan kesederhanaan seorang Natsir, hingga baju yang dikenakannya saat menjabat sebagai menteri adalah jas yang penuh tambalan. “Pakaiannya sungguh tidak menunjukkan ia seorang menteri dalam pemerintahan,”[12] saat ia baru menjabat sebagai perdana menteri sekitar September 1950, ia tinggal di sebuah gang hingga seseorang menghadiahkan sebuah rumah di Jalan Jawa (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Lelaki kelahiran Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908, ini juga menolak hadiah mobil Chevy Impala dari seorang cukong. Dan boleh dibilang, Natsir adalah satu-satunya pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno.[13]

3.        Mohammad Isa Anshary
Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan periode kedua Persis sesudah kepemimpinan KH Zamzam, KH Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Mohammad Natsir yang mendengungkan slogan “Kembali kepada Alquran dan As-Sunnah”. Pada periode kedua ini, salah seorang tokoh Persis yang pernah memimpin adalah KH Mohammad Isa Anshary.
KH Mohammad Isa Anshary lahir di Maninjau Sumatra Tengah pada 1 Juli 1916. Pada usia 16 tahun, setelah menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Islam di tempat kelahirannya, ia merantau ke Bandung untuk mengikuti berbagai kursus ilmu pengetahuan umum. Di Bandung pula, ia memperluas cakrawala keislamannya dalam Jam’iyyah Persis hingga menjadi ketua umum Persis.
Tampilnya Isa Anshary sebagai pucuk pimpinan Persis dimulai pada 1940 ketika ia menjadi anggota hoofbestuur (Pusat Pimpinan) Persis. Tahun 1948, ia melakukan reorganisasi Persis yang mengalami kevakuman sejak masa pendudukan Jepang dan Perang Kemerdekaan. Tahun 1953 hingga 1960, ia terpilih menjadi ketua umum Pusat Pimpinan Persis.
Selain sebagai mubaligh, Isa Anshary juga dikenal sebagai penulis yang tajam. Ia termasuk salah seorang perancang Qanun Asasi Persis yang telah diterima secara bulat oleh Muktamar V Persis (1953) dan disempurnakan pada Muktamar VIII Persis (1967).
Dalam sikap jihadnya, Isa Anshary menganggap perjuangan Persis sungguh vital dan kompleks karena menyangkut berbagai bidang kehidupan umat. Dalam bidang pembinaan kader, Isa Anshary menekankan pentingnya sebuah madrasah, tempat membina kader-kader muda Persis.
Semangatnya dalam hal pembinaan kader tidak pernah padam meskipun ia mendekam dalam tahanan Orde Lama di Madiun.[14] Kepada Yahya Wardi yang menjabat ketua umum Pimpinan Pusat Pemuda Persis periode 1956-1962, Isa Anshary mengirimkan naskah “Renungan 40 Tahun Persatuan Islam” yang ia susun dalam tahanan untuk disebarkan kepada peserta muktamar dalam rangka meningkatkan kesadaran jamaah Persis.
Melalui tulisannya, Isa Anshary mencoba menghidupkan semangat para kadernya dalam usaha mengembangkan serta menyebarkan agama Islam dan perjuangan organisasi Persis. Semangat ini terus ia gelorakan hingga wafatnya pada 2 Syawal 1389 H yang bertepatan dengan 11 Desember 1969.





4.        KHE Abdurrahman
KH Endang Abdurrahman tampil sebagai sosok ulama rendah hati, berwibawa, dan berwawasan luas. Dengan gaya kepemimpinan yang luwes, ia telah membawa Persis pada garis perjuangan yang berbeda: tampil low profile dengan pendekatan persuasif edukatif, tanpa kesan keras, tetapi teguh dalam prinsip berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.
Abdurrahman dilahirkan di Kampung Pasarean, Desa Bojong Herang, Kabupaten Cianjur, pada Rabu, 12 Juni 1912. Ia merupakan putra tertua dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Ghazali, seorang penjahit pakaian, dan ibunya bernama Hafsah, seorang perajin batik.
KH Aburrahman dikenal sebagai seorang ulama besar dan ahli hukum yang tawadhu. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menelaah kitab-kitab, mengajar di pesantren, dan hampir setiap malam mengisi berbagai pengajian.
Sosok ulama Persis yang satu ini, sebagaimana ditulis Fauzi Nur Wahid dalam bukunya KHE Abdurrahman: Peranannya dalam Organisasi Persatuan Islam, semula memiliki pemahaman keagamaan yang bersifat tradisional. Namun, pada kemudian hari, ia beralih menjadi ulama yang berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah serta menentang berbagai ibadah, khurafat, dan takhayul.
Pada masa kepemimpinannya, banyak persoalan mendasar yang dihadapi Persis. Di antaranya, bagaimana mempertahankan eksistensi Persis di tengah gejolak sosial politik yang tidak menentu. Jihad perjuangan Persis dihadapkan pada masalah-masalah politik yang beragam.
Selain itu, Persis juga berhadapan dengan aliran-aliran yang dianggap menyesatkan umat Islam. Untuk menghadapi aliran tersebut, ia memerintahkan para mubaligh Persis dan organisasi yang ada di bawah Persis untuk terjun ke daerah-daerah secara rutin dalam membimbing umat.





5.        KH Abdul Latief Muchtar
Dilahirkan di Garut pada 7 Januari 1931 dari pasangan H Muchtar dan Hj Memeh. Sejak kecil, KH Abdul Latief Muchtar sudah bersentuhan dengan Persis hingga akhirnya menjadi ketua umum Persis, menggantikan KHE Abdurrahman yang wafat.
Jika Persis kini tampak low profile, itu semua tidak lepas dari kepemimpinan KH Abdul Latief. Pada masa kepemimpinannya, Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis.
Pada masa awal jabatannya sebagai ketua umum Persis, KH Abdul Latief dihadapkan pada keguncangan jamaah Persis karena adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 yang menuntut semua organisasi kemasyarakatan ( ormas ) di Indonesia mencantumkan asas tunggal Pancasila sebagai asas dalam anggaran dasar organisasinya. Persoalan asas tunggal ini dihadapi dengan visi dan pemikiran KH Latief yang akomodatif. Ia mencoba menjembatani persoalan ini dengan baik.
Dalam bidang jam’iyyah ( organisasi ), KH Latief bertekad menjadikan organisasi Persis makin terbuka ( inklusif ). Persis harus mampu diterima semua kalangan, tanpa ada kelompok yang merasa takut dengan keberadaannya.
KH Latief bercita-cita mengembangkan objek dakwahnya ke lingkungan kampus. Baginya, kampus adalah lembaga intelektual yang harus dirangkul dan diisi dengan materi dakwah yang tepat. Karena itulah, ia mendukung sepenuhnya pembentukan organisasi otonom mahasiswa Persis di berbagai perguruan tinggi dalam satu wadah Himpunan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswi Persis.

C.      Tujuan dan Aktifitas Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada faham Al-Quran dan Sunnah. Hal ini dilakukan berbagai macam aktifitas diantaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, mendirikan sekolah-sekolah (pesantren), menerbitkan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktifitas keagamaan lainnya. Tujuan utamanya adalah terlaksananya syariat Islam secara kaffah dalam segala aspek kehidupan.
Untuk mencapai tujuan jam’iyyah, Persis melaksanakan berbagai kegiatan antara lain pendidikan yang dimulai dengan mendirikan Pesantren Persis pada tanggal 4 Maret 1936. dari pesantren Persis ini kemudian berkembang berbagai lembaga pendidikan mulai dari Raudlatul Athfal (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi.
Kemudian menerbitkan berbagai buku, kitab-kitab, dan majalah antara lain majalah Pembela Islam (1929), majalah Al-Fatwa, (1931), majalah Al-Lissan (1935), majalah At-taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Majalah Aliran Islam (1948), majalah Risalah (1962), majalah berbahasa Sunda (Iber), serta berbagai majalah yang diterbitkan di cabang-cabang Persis.
Selain pendidikan dan penerbitan, kegiatan rutin adalah menyelenggarakan pengajian dan diskusi yang banyak digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis maupun permintaan dari cabang-cabang Persis, undangan-undangan dari organisasi Islam lainnya, serta masyarakat luas.

D.      Kepemimpinan Persatuan Islam
Kepemimpinan Persis periode pertama (1923 1942) berada di bawah pimpinan H. Zamzam, H. Muhammad Yunus, Ahmad Hassan, dan Muhammad Natsir yang menjalankan roda organisasi pada masa penjajahan kolonial Belanda, dan menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan pemikirannya.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), ketika semua organisasi Islam dibekukan, para pimpinan dan anggota Persis bergerak sendiri-sendiri menentang usaha Niponisasi dan pemusyrikan ala Jepang. Hingga menjelang proklamasi kemerdekaan Pasca kemerdekaan.
Persis mulai melakukan reorganisasi untuk menyusun kembali system organisasi yang telah dibekukan selama pendudukan Jepang, Melalui reorganisasi tahun 1941, kepemimpinan Persis dipegang oleh para ulama generasi kedua diantaranya KH. Muhammad Isa Anshari sebagai ketua umum Persis (1948-1960), K.H.E. Abdurahman, Fakhruddin Al-Khahiri, K.H.O. Qomaruddin Saleh, dll.
Pada masa ini Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil; pemerintah Republik Indonesia sepertinya mulai tergiring ke arah demokrasi terpimpin yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno dan mengarah pada pembentukan negara dan masyarakat dengan ideology Nasionalis, Agama, Komunis (Nasakom).
Setelah berakhirnya periode kepemimpinan K.H. Muhammad Isa Anshary, kepemimpinan Persis dipegang oleh K.H.E. Abdurahman (1962-1982) yang dihadapkan pada berbagai persoalan internal dalam organisasi maupun persoalan eksternal dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang menyesatkan seperti aliran pembaharu Isa Bugis, Islam Jama’ah, Darul Hadits, Inkarus Sunnah, Syi’ah, Ahmadiyyah dan faham sesat lainnya.
Kepemimpinan K.H.E. Abdurahman dilanjutkan oleh K.H.A. Latif Muchtar, MA. (1983-1997) dan K.H. Shiddiq Amien (1997-2005) yang merupakan proses regenerasi dari tokoh-tokoh Persis kepada eksponen organisasi otonom kepemudaannya. (Pemuda Persis).
Pada masa ini terdapat perbedaan yang cukup mendasar: jika pada awal berdirinya Persis muncul dengan isu-isu kontrobersial yang bersifat gebrakan shock therapy paa masa ini Persis cenderung ke arah low profile yang bersifrat persuasive edukatif dalam menyebarkan faham-faham al-Quran dan Sunnah.
Pada masa ini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.
Di bawah kepemimpinan KH. Shiddiq Amienullah, anggota simpatisa Persis beserta otonomnya tercatat kurang lebih dari tiga juta orang yang tersebar di 14 provinsi dengan 7 pimpinan wilayah, 33 Pimpinan Daerah dan 258 Pimpinan Cabang.
Bersama lima organisasi otonom Persis, yakni Persatuan Islam Istri (Persistri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Himpunan Mahasiswa (HIMA) Persis, Himpunan Mahasiswi Persis, aktifitas Persis telah meluas ke dalam aspek-aspek lain tidak hanya serangkaian pendidikan, penerbitan dan tabligh.
Tetapi aktifitas Persis meluas ke berbagai bidang garapan yang dibutuhkan oleh umat Islam melalui bidang pendidikan (pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi), dakwah, bimbingan haji, perzakatan, sosial ekonomi, perwakafan, dan perkembangan fisik yakni pembangunan-pembangunan masjid dengan dana bantuan kaum muslimin dari dalam dan luar negeri, menyelenggarakan berbagai seminar, pelatihan dan diskusi pengkajian Islam.
Demikian pula fungsi Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam pengambilan keputusan hokum Islam di kalangan Persis serta Dewan Tafkir semakin ditingkatkan aktiftasnya dan semakin intensif dalam penelaahan berbagai masalah hokum keagamaan, perhitungan hisab, dan kajian sosial semakin banyak dan beragam.

E.       Persis dan Gerakan Tajdid
Aktivitas utama Persis adalah dalam bidang dakwah, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Melalui peran ini, Persis ingin berperan aktif dalam memberikan kontribusi untuk meluruskan pemahaman umat Islam yang keliru terhadap agamanya. Ada dua agenda besar yang ingin dicapai Persis, yakni memurnikan akidah umat (Ishlah al-’Aqidah), dan meluruskan ibadah umat (Ishlah al-’Ibadah).
Sejak berdirinya pada 1923, Persis tetap konsisten berjuang menegakkan misi utama organisasi ini. Bahkan, Ahmad Hassan, sang guru utama Persis, harus berhadapan dengan sejumlah tokoh yang mendebatnya, karena dianggap pandangannya yang radikal. Namun, semua itu dibuktikan A Hassan dengan dasar-dasar yang konkret dalam Alquran. A Hassan menginginkan umat ini kembali mengkaji Al-Quran dan Sunnah, sebagai rujukan utama. Bila tidak ditemukan dasarnya dalam kedua sumber hukum Islam tersebut, maka perbuatan itu harus ditinggalkan.
Dari sini, lahirlah sejumlah tokoh Islam. seperti Mohammad Natsir (mantan perdana menteri RI), KH Mohammad Isa Anshary (singa mimbar), KH Endang Abdurrahman (ulama yang rendah hati), KH Abdul Lutfi Muchtar (ulama yang memberi warna baru di tubuh Persis), Shiddiq Amien (ulama dan dai yang rendah hati), serta masih banyak lagi. Semuanya memiliki visi yang sama, yakni memurnikan ajaran Islam yang berkembang di masyarakat, seperti bid’ah, khurafat, dan takhayul.
Untuk memperkuat visi dan misinya, maka dibentuklah sejumlah badan otonom. Seperti Persatuan Islam Istri (Persistri), Pemuda Persatuan Islam, Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam, Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam, dan Ikatan Santri dan Pelajar Persatuan Islam, yang kini tengah digodok. Upaya ini dilakukan untuk membekali dan membentengi akidah umat Islam sejak dini.
Persatuan Islam sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dan dakwah, saat ini telah memiliki sekitar 215 pondok pesantren, 400 masjid, serta sejumlah lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Itu semua tersebar di seluruh Indonesia.
Tak hanya itu, Persis juga berkontribusi dalam pengelolaan dan pendistribusian aset umat dalam bentuk zakat, wakaf, dan pengelolaan ekonomi umat, seperti Pusat Zakat Umat (PZU) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Kini, program utama yang dikembangkan Persis pada lima tahun ke depan adalah menegaskan kembali peran Persis sebagai gerbong pembaruan pemikiran keislaman, gerakan dakwah dan pendidikan untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.

F.       Persis dan Pemurnian Islam
Keberadaan penjajah Belanda di Indonesia telah melahirkan semangat persatuan dan keberagamaan umat Islam. Sebab, kedatangan penjajah ke bumi nusantara telah membawa sejumlah peradaban baru yang sebagian di antaranya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sementara itu, tingkat keberagamaan umat Islam juga mulai bercampur dengan kebiasaan dan tradisi yang menurut beberapa tokoh tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni.
Kondisi inilah yang menyebabkan lahirnya sejumlah organisasi keislaman di bumi nusantara. Hingga saat ini, tercatat cukup banyak organisasi Islam di Indonesia. Salah satunya adalah Persatuan Islam (Persis). Organisasi ini didirikan di Bandung pada 12 September 1923 oleh sekelompok tokoh Islam yang berminat dalam pendidikan serta gerakan pemurniaan dan pembaruan (tajdi) Islam. Gerakan ini dilakukan oleh sejumlah tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar berusia muda.
Sebagaimana diketahui, gerakan pembaruan Islam mulai masuk ke Indonesia sekitar tahun 1802 atau bersamaan dengan kembalinya sejumlah ulama Indonesia dari Tanah Suci Makkah. Para ulama ini melihat secara langsung gerakan pemurnian Islam di Jazirah Arab.
Mereka kemudian mengembangkan gerakan tajdid. Melalui gerakan tersebut, para ulama ini berupaya meluruskan semua praktik ibadah di kalangan masyarakat Muslim yang masih bercampur dengan bid’ah dan khurafat. Praktik ibadah seperti itu dipandang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.
Semangat dan isi gerakan pembaruan Islam ini pada mulanya mendapat perhatian dari umat Islam di daerah perkotaan. Secara geografis dan kultural, masyarakat kota lebih cepat berhadapan dengan pengaruh luar daripada masyarakat desa. Mereka yang mendukung gerakan ini menamakan diri sebagai kelompok modernis Islam.
Pada awal abad ke-20, gerakan pembaruan Islam di Indonesia ditandai dengan munculnya berbagai organisasi kelompok modernis Islam di sejumlah kota besar, di antaranya Al-Jam’iyyah Al-Khoiriyah atau dikenal dengan nama Jamiat Khair pada 17 Juli 1905 di Jakarta, Al-Irsyad (berdiri di Jakarta, 11 Agustus 1915), dan Muhammadiyah di Yogyakarta (12 November 1912).
Kota Bandung, sebagaimana dijelaskan Dadan Wildan dalam buku Yang Da’i Yang Politikus: Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, tampaknya agak lambat menerima arus gerakan pembaruan Islam ini dibandingkan daerah-daerah lain meskipun Syarekat Islam (SI) telah beroperasi di daerah ini sejak 1913. Kesadaran akan keterlambatan ini merupakan salah satu cambuk berdirinya sebuah organisasi baru, yakni Persatun Islam (Persis).
Kelompok tadarusan
Berdirinya Persis, terang Dadan, diawali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan (penelaahan agama Islam) di Kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Kelompok tadarusan yang berjumlah sekitar 20 orang itu menelaah, mengkaji, dan menguji ajaran-ajaran Islam yang berkembang di tengah masyarakat.
Para anggota tadarusan tersebut sadar akan bahaya keterbelakangan, kejumudan, tertutupnya pintu ijtihad, taklid buta, dan serangkaian praktik bid’ah. Mereka kemudian mencoba melakukan gerakan tajdid (pembaruan) dan pemurnian ajaran Islam dari paham-paham yang dianggap menyesatkan. Seiring dengan banyaknya peminatnya, kelompok ini menyadari perlunya membentuk sebuah organisasi baru yang memiliki karakter khusus.
Pada 1 Shafar 1342 H, bertepatan dengan 12 September 1923, kelompok tadarus ini sepakat mendirikan organisasi yang diberi nama Persatuan Islam. Nama Persatuan Islam ini diberikan dengan maksud untuk mengarahkan ruhul-ijtihad dan jihad: berusaha sekuat tenaga mencapai harapan dan cita-cita yang sesuai dengan kehendak dan cita-cita organisasi, yaitu persatuan pemikiran Islam, persatuan rasa Islam, persatuan suara Islam, dan persatuan usaha Islam.
Ide persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini diilhami firman Alloh dalam Al-Quran surah Ali-Imran ayat 103 dan hadis Nabi SAW yang memerintahkan pentingnya persatuan.
Dan, berpegang teguhlah kamu sekalian kepada tali (undang-undang/aturan) Alloh seluruhnya; dan janganlah kamu bercerai-berai.” (QS Ali Imran [3]: 103). “Kekuatan Alloh itu beserta jamaah.” (HR Tirmidzi). Kedua dasar inilah yang menjadi moto Persis dan ditulis dalam lambang Persis yang berbentuk lingkaran bintang bersudut 12.
Dalam perkembangannya, konsep persatuan pemikiran, rasa, suara, dan usaha Islam ini dituangkan Persis melalui gerakan pendidikan Islam dan dakwah. Persis juga berusaha menegakkan ajaran Islam secara utuh tanpa dicampuri khurafat, syirik, dan bid’ah. Saat ini, organisasi Persis telah tersebar di sejumlah provinsi, di antaranya Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Banten, Lampung, Bengkulu, Riau, Jambi, dan Gorontalo.

G.      Kiprah Persis
Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran paham Alquran dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah (pesantren), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya.
Dalam bidang pendidikan, pada 1924 diselenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Pada 1927, didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan Holland Inlandesch School (HIS) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi didirikan Pesantren Persis yang pertama dan diberi nomor satu di Bandung.
Dalam bidang penerbitan ( publikasi ), Persis banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah, di antaranya majalah Pembela Islam (1929), Al-Fatwa (1931), Al-Lissan (1935), At-Taqwa (1937), majalah berkala Al-Hikam (1939), Aliran Islam (1948), Risalah (1962), Pemuda Persis Tamaddun (1970), majalah berbahasa Sunda Iber (1967), dan berbagai majalah ataupun siaran publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di berbagai tempat. Beberapa di antara majalah tersebut saat ini sudah tidak diterbitkan lagi.
Melalui penerbitan inilah, Persis menyebarluaskan pemikiran dan ide-ide mengenai dakwah dan tajdid. Bahkan, tak jarang di antara para dai ataupun organisasi-organisasi keislaman lainnya menjadikan buku-buku dan majalah-majalah terbitan Persis ini sebagai bahan referensi mereka.
Gerakan dakwah dan tajdid Persis juga dilakukan melalui serangkaian kegiatan khutbah dan tabligh yang kerap digelar di daerah-daerah, baik atas inisiatif Pimpinan Pusat Persis, permintaan dari cabang-cabang, undangan dari organisasi Islam lainnya, maupun atas permintaan masyarakat luas.
Pada masa Ahmad Hassan-guru utama Persis-kegiatan tabligh yang digelar Persis tidak hanya bersifat ceramah, tetapi juga diisi dengan menggelar perdebatan tentang berbagai masalah keagamaan. Misalnya, perdebatan Persis dengan Al-Ittihadul Islam di Sukabumi pada 1932, kelompok Ahmadiyah (1933), Nahdlatul Ulama (1936), kelompok Kristen, kalangan nasionalis, bahkan polemik yang berkepanjangan antara Ahmad Hassan dan Ir. Soekarno tentang paham kebangsaan.
Sepeninggal Ahmad Hassan, aktivitas dakwah dengan perdebatan ini mulai jarang dilakukan. Persis tampaknya lebih menonjolkan sikap low profile sambil tetap melakukan edukasi untuk menanamkan semangat keislaman yang benar. Namun, bukan berarti tidak siap untuk berdiskusi dengan kelompok yang memiliki pandangan berbeda dalam satu bidang tertentu. Jika dibutuhkan, Persis siap melakukan gebrakan yang bersifat shock therapy.
Di pengujung abad ke-20, aktivitas Persis meluas ke aspek-aspek lain. Orientasi Persis dikembangkan dalam berbagai bidang yang menjadi kebutuhan umat. Mulai dari bidang pendidikan (tingkat dasar hingga pendidikan tinggi), dakwah, bimbingan haji, zakat, sosial, ekonomi, perwakafan, dan lainnya.
Dalam perkembangannya, sejak tahun 1963, Persis mengoordinasi pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di cabang-cabang Persis. Hingga Muktamar II di Jakarta tahun 1995, Persis tercatat telah memiliki 436 unit pesantren dari berbagai tingkatan.
Selain itu, Persis pun menyelenggarakan bimbingan jamaah haji dan umrah dalam kelompok Qornul Manazil, mendirikan beberapa bank Islam skala kecil (Bank Perkreditan Rakyat/BPR), mengembangkan perguruan tinggi, mendirikan rumah yatim dan rumah sakit Islam, membangun masjid, seminar, serta lainnya.
Dalam bidang organisasi, Persis membentuk Dewan Hisbah sebagai lembaga tertinggi dalam struktur organisasi. Dewan Hisbah ini difungsikan dalam pengambilan keputusan hukum Islam di kalangan Persis.



H.      Penerapan Hukum Islam
Sebagai organisasi Islam, Persis mempunyai tujuan utama untuk memberlakukan hukum Islam di tengah masyarakat, sebagaimana tuntunan Al-Quran dan Hadis di masyarakat.
Menurut Tafsir Qanun Asasi Persis, pada mulanya Persis, yang terbentuk dan berdiri pada masa penjajahan kolonial Belanda itu, tidaklah didasarkan atas suatu kepentingan atau kebutuhan masyarakat pada masa itu. Para pendirinya mendirikan organisasi ini karena terpanggil oleh kewajiban dan tugas risalah dari Alloh SWT, sebagaimana Rasulullah SAW berdiri di atas bukit Shafa untuk menyatakan kerasulannya tidaklah berdasarkan atas kepentingannya.
Menurut Dadan Wildan, para pendiri Persis menilai bahwa masyarakat Islam Indonesia ketika itu tidak membutuhkan suatu perombakan tatanan kehidupan keislaman. Namun, mereka melihat bahwa sebagian besar umat Islam telah tenggelam dalam ‘buaian’ taklid, jumud, khurafat, bid’ah, takhayul, syirik, dan paham-paham sesat lainnya. Karena itu, tulis Wildan, Persis berdiri atas dasar kewajiban terhadap tugas Ilahi untuk mengubah kemandekan berpikir dan membuka ketertutupan pintu ijtihad.
Berbeda dengan organisasi-organisasi lain yang berdiri pada awal abad ke-20, menurut Howard M Federspiel dalam tulisannya yang bertajuk “Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia”, Persis mempunyai ciri tersendiri. Kegiatan organisasi ini dititikberatkan pada pembentukan paham keagamaan.
Sejalan dengan ini, Isa Anshary dalam buku Manifest Perjuangan Persatuan Islam menyatakan bahwa Persis tampil sebagai sebuah organisasi kaum Muslim yang sepaham dan sekeyakinan, yakni kaum pendukung dan penegak Alquran dan sunah.
Menurut Isa Anshary, Persis mengutamakan perjuangan dalam lapangan ideologi Islam dan bukan dalam bidang organisasi. Persis berjuang membentuk dirinya menjadi intisari dari kaum Muslim. “Ia mencari kualitas, bukan kuantitas. Ia mencari isi, bukan jumlah.” Karena itu, organisasi ini tampil sebagai salah satu sumber kebangkitan dan kesadaran baru bagi umat Islam serta menjadi kekuatan dinamika dalam menggerakkan kebangkitan umat Islam.
Sejak awal berdirinya, Persis tidak memberikan penekanan pada kegiatan organisasi. Para pengurus Persis tidak terlalu berminat untuk membentuk banyak cabang atau menambah sebanyak mungkin jumlah anggota. Sebab, yang terpenting bagi mereka adalah semangat keberagamaan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam sebagaimana dikehendaki oleh Alloh dan rasul-Nya yang termaktub dalam Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
Karena itu, organisasi ini tidak cepat berkembang menjadi sebuah organisasi yang besar. Sebab, itu bukan tujuan utamanya. Namun, pengaruh organisasi ini tampak jauh lebih besar dibandingkan jumlah cabang ataupun anggotanya.


Daftar Pustaka

Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani Publishing, Oktober 2009
Badri Khaeruman, Drs. M.Ag, 2005. Pandangan Keagamaan Persatuan Islam. Granada. Bandung
Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id
Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah. Salamadani: Jakarta
Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id.
Kahin, 1978. Natsir, 70 tahun kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
Bercermin pada kesehajaan Muhammad Natsir. Admin. www.himapersis.org
Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id.
Jusup A, faisal, Penataan Kembali Kurikulum Pendidikan Islam, (Risalah no 2 tahun XXII, April 1984) hlm. 43
Wildan Anas, A. Hasan Ulama Pejuang Penegak Qur’an dan Sunnah, (Risalah no. 5 tahun XXXIII, Juli 1995). Hlm. 15


[1] Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku Api Sejarah (Salamadani Publishing, Oktober 2009
[2] Baca Al Quran Surat 3:103
[3] Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah. Salamadani: Jakarta. Hlm 478
[4] Badri Khaeruman, Drs. M.Ag, 2005. Pandangan Keagamaan Persatuan Islam. Granada. Bandung, hlm 1
[5] Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id
[6] Ahmad Mansur Suryanegara, 2009. Api Sejarah. Salamadani: Jakarta
[7] Prof. Schoemaker akhirnya insyaf dan masuk Islam serta menjadi sahabatnya
[8] Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id. Dijelaskan pula bahwa salah satu pengaruhnya adalah ketika mertuanya meninggal, soekarno tidak tahlilan.
[9] Lihat Tamar Djaja, 1980:44-53
[10] Lihat Tamar Djaja, 1980:98
[11] Ibid
[12] Kahin, 1978. Natsir, 70 tahun kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan.
[13] Bercermin pada kesehajaan Muhammad Natsir. Admin. www.himapersis.org
[14] Lamlam Pahala, 2010. Memajukan Persatuan Islam. Admin website persis. www.persis.or.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar