Kamis, 24 November 2011

Fsikologi Dakwah Mama Cibitung


بسم الله لرحمن الرحيم
Sampainya Islam hingga sekarang tak luput dari sebuah perjuangan keras para pendahulu kita, usaha yang maksimal sehingga islam mampu diterima dengan lapang dada oleh para pendengarnya. Kebijakan dan kearifan sang da’i akan lebih mampu mempermudah jalannya dakwah yang dilakukan dengan tanpa memperkeruh suasana yang sedang dihadapi.
Berbicara fsikologi ternyata para da’i terdahulu sudah menerapkan dengan sempurna walaupun mereka tak belajar secara langsung bagaimana cara berinteraksi dengan menggunakan bahasa kebutuhan yang tak terungkapkan sehingga antara kebutuhan dan keinginan mampu menjadi kolaborasi yang indah dalam satu rel syar’eat islam.
  Beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para ulama terdahulu kebanyakan melakukan pendekatan budaya. Hal ini serasa lebih efektif karena cara ini mampu memberikan sumbangsi yang sangat besar bagi laju perkembangan dakwah. Seperti halnya yang di lakukan oleh KH. MUHAMMAD ILYAS yang lebih dikenal dengan panggilan Mama Cibitung, beliau lahir di Lembur Gede Cibitung pada tahun 1836 M. (tak diketahui tanggal lahirnya) beliau wafat pada tahun 1953 (usia 117 tahun) di Sukamanah Cibitung.
Sepulangnya dari Mekkah, beliau kembali belajar pada Mama KH. Yasin Sodong Cianjur, namun malah disuruh mengajar di Pesantrennya di Sodong Cianjur selama satu tahun, setelah itu disuruh mukim dan menikah tahun 1871 dengan Wastijah salah seorang putri Mama KH, Husen Pasir Gombong Cibitung. Semula beliau mukim bersama ayahandanya di Lembur Gede Cibitung. Tidak diketahui apa penyebabnya yang membuat hati beliau selalu gundah. Kemudian beliau membeli sebidang tanah dari uang hasil usaha sendiri dan setengahnya dari uang istri beliau. Sebidang tanah tersebut terletak di pinggir Sungai Cijambu, ditempat baru ini hati beliau menjadi tenang, itulah sebabnya tempat ini beliau beri nama Sukamanah.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa masyarakat Gunung-halu telah mengenal islam sejak pertengahan abad ke-19 . Namun saat itu persoalan ketauhidan belum begitu tertanam kokoh pada dan belum menjadi ideologi masyarakat, karena masih bercampur dengan paham lokal yang penuh dengan aroma mejik dan perbuhunan. Sehingga ada yang mengatakan bahwa pada zaman dulu pendidikan di pesantren-pesantren tidak begitu fokus terhadap pengkajian ilmu-ilmu agama. Sekalipun ada pengkajian ke-islam-an hanya terbatas pada  jampe-jampe  (do’a-do’a yang tidak berlandaskan hadits). Selain itu, para santri lebih fokus untuk mempelajari ilmu-ilmu kebatinan dan ilmu kanuragan.
Sehingga ekses daripada itu, pemahan masyarakat terhadap agama islam sangatlah dangkal serta penyaluran insting ketuhanan mereka masih samar dan belum begitu kuat memegang aqidah islam. Sehingga, pribadahan dan pemujaan bagi mereka masih memerlukan mediasi dan sarana yang berwujud benda. Dalam setiap momen yang berkaitan dengan spiritualitas, mereka masih belum yakin tanpa adanya wasilah yang bisa langsung berinteraksi dengan mereka sehingga, mereka masih mempertahankan praktek upacara-upacara trdisional, pembacaan jampe-jampe dan pemujaan pada benda pusaka dan perkakas keramat yang telah diwariskan oleh orang tua mereka.
Hal itu masih terus berkembang dalam budaya dan kehidupan masyarakat Sukamanah. Salah satu contohnya, ketika mereka ingin mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Swt. mereka tidak akan merasa puas dengan ucapan basmallah saja kecuali dibarengi dengan ritual ngukus  serta harus melibatkan seseorang yang dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi dengan jin. Hal ini dilakukan supaya syukuran dan do’a yang mereka panjatkan bisa sampaikepada-Nya berkat tawasul pada karuhun. Hal seperti itu dilakukan atas dasar kepercayaan yang bercampur antara pemahaman islam dengan budaya lokal yang telah diwariskan secara turun temurun.
Mama terkenal dengan kegigihannya dalam berdakwah segingga sudah menjadi kebiasaan sepulangnya dari kebun dia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah warga yang beliau anggap masih memiliki kepercayaan terhadap perkara tahaul. Dengan alasan numpang untuk melaksanakan shalat dzuhur beliau selalu sengaja membuka dakwah dengan cara berkunjung rumah-kerumah (door to door) baik yang berada di kampung tempat kediamannya maupun kampung lain yang berada di sekitar sukamanah. Dengan cara ini beliau memilih cara yang tepat karena beliau bisa dengan bebas menerangkan kepada orang yang beliau kunjungi tentang tauhid dan dosa-dosa syirik.
Gaya berdakwah seperti ini memang menjadi salah satu kelebihannya sehingga tidak sedikit masyarakat yang merasa tertarik mengikuti apa yang telah ia ajarkan karena sekalipun beliau selalu keras dan terang-terangan menyatakan tentang dosa syirik di depan masyarakat yang masih memelihara benda-benda pusaka. Namun beliau bersikap sangat lembut dan penuh kharismatik dalam menjalin hubungan dengan masyarakat sehingga, seorangpun tidak ada yang berani menentang kepadanya.
Dalam hal memberantas kemunkaran, beliau melakukannya dengan cara-cara yang lemah lembut, seperti yang dituturkan putra beliau, KH. Abdul Halim, bahwa ketika menghadapi orang yang .membawa domba adu, beliau mengelus-elus domba itu, sambil berkata : “ Domba kagungan saha ieu teh meni kasep, komo lamun teu diadukeun mah pasti kasep pisan “. Seketika itu tukang mengadu domba, berhenti dari kebisaan mengadu dombanya, berubah menjadi orang yang ta’at beragama.
Itulah sekilas perjalanan dakwah Mama, ada beberapa yang perlu di garis bawahi dalam fsikologi dakwah beliau diantaranya:
1.      Dakwah bil hal
2.      Door to dorr and man to man
3.      Pendekatan Kebudayaan
Keistimewaan Mama Cibitung yang dapat disaksikan sampai saat ini adalah pada saat haolan beliau, yang diselenggarakan setiap tanggal 15 – 22 Robiul Akhir. Haolan ini dihadiri oleh ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai lapisan masyarakat yang berdatangan dari daerah – daerah, terutama Jawa Barat, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar