بسم الله لرحمن الرحيم
Sampainya Islam hingga
sekarang tak luput dari sebuah perjuangan keras para pendahulu kita, usaha yang
maksimal sehingga islam mampu diterima dengan lapang dada oleh para
pendengarnya. Kebijakan dan kearifan sang da’i akan lebih mampu mempermudah
jalannya dakwah yang dilakukan dengan tanpa memperkeruh suasana yang sedang
dihadapi.
Berbicara fsikologi
ternyata para da’i terdahulu sudah menerapkan dengan sempurna walaupun mereka
tak belajar secara langsung bagaimana cara berinteraksi dengan menggunakan
bahasa kebutuhan yang tak terungkapkan sehingga antara kebutuhan dan keinginan
mampu menjadi kolaborasi yang indah dalam satu rel syar’eat islam.
Beberapa pendekatan yang dilakukan oleh para
ulama terdahulu kebanyakan melakukan pendekatan budaya. Hal ini serasa lebih
efektif karena cara ini mampu memberikan sumbangsi yang sangat besar bagi laju
perkembangan dakwah. Seperti halnya yang di lakukan oleh KH. MUHAMMAD ILYAS
yang lebih dikenal dengan panggilan Mama Cibitung, beliau lahir di Lembur Gede
Cibitung pada tahun 1836 M. (tak diketahui tanggal lahirnya) beliau wafat pada
tahun 1953 (usia 117 tahun) di Sukamanah Cibitung.
Sepulangnya dari Mekkah,
beliau kembali belajar pada Mama KH. Yasin Sodong Cianjur, namun malah disuruh
mengajar di Pesantrennya di Sodong Cianjur selama satu tahun, setelah itu
disuruh mukim dan menikah tahun 1871 dengan Wastijah salah seorang putri Mama
KH, Husen Pasir Gombong Cibitung. Semula beliau mukim bersama ayahandanya di
Lembur Gede Cibitung. Tidak diketahui apa penyebabnya yang membuat hati beliau
selalu gundah. Kemudian beliau membeli sebidang tanah dari uang hasil usaha
sendiri dan setengahnya dari uang istri beliau. Sebidang tanah tersebut
terletak di pinggir Sungai Cijambu, ditempat baru ini hati beliau menjadi
tenang, itulah sebabnya tempat ini beliau beri nama Sukamanah.
Sebagaimana telah dikatakan
di atas, bahwa masyarakat Gunung-halu telah mengenal islam sejak pertengahan
abad ke-19 . Namun saat itu persoalan ketauhidan belum begitu tertanam kokoh
pada dan belum menjadi ideologi masyarakat, karena masih bercampur dengan paham
lokal yang penuh dengan aroma mejik dan perbuhunan. Sehingga ada yang
mengatakan bahwa pada zaman dulu pendidikan di pesantren-pesantren tidak begitu
fokus terhadap pengkajian ilmu-ilmu agama. Sekalipun ada pengkajian ke-islam-an
hanya terbatas pada jampe-jampe (do’a-do’a yang tidak berlandaskan hadits).
Selain itu, para santri lebih fokus untuk mempelajari ilmu-ilmu kebatinan dan
ilmu kanuragan.
Sehingga ekses daripada
itu, pemahan masyarakat terhadap agama islam sangatlah dangkal serta penyaluran
insting ketuhanan mereka masih samar dan belum begitu kuat memegang aqidah
islam. Sehingga, pribadahan dan pemujaan bagi mereka masih memerlukan mediasi
dan sarana yang berwujud benda. Dalam setiap momen yang berkaitan dengan
spiritualitas, mereka masih belum yakin tanpa adanya wasilah yang bisa langsung
berinteraksi dengan mereka sehingga, mereka masih mempertahankan praktek
upacara-upacara trdisional, pembacaan jampe-jampe dan pemujaan pada benda
pusaka dan perkakas keramat yang telah diwariskan oleh orang tua mereka.
Hal itu masih terus
berkembang dalam budaya dan kehidupan masyarakat Sukamanah. Salah satu
contohnya, ketika mereka ingin mengungkapkan rasa syukur kepada Allah Swt.
mereka tidak akan merasa puas dengan ucapan basmallah saja kecuali dibarengi
dengan ritual ngukus serta harus
melibatkan seseorang yang dianggap memiliki kemampuan berkomunikasi dengan jin.
Hal ini dilakukan supaya syukuran dan do’a yang mereka panjatkan bisa sampaikepada-Nya
berkat tawasul pada karuhun. Hal seperti itu dilakukan atas dasar kepercayaan
yang bercampur antara pemahaman islam dengan budaya lokal yang telah diwariskan
secara turun temurun.
Mama terkenal dengan
kegigihannya dalam berdakwah segingga sudah menjadi kebiasaan sepulangnya dari
kebun dia selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah warga yang beliau
anggap masih memiliki kepercayaan terhadap perkara tahaul. Dengan alasan
numpang untuk melaksanakan shalat dzuhur beliau selalu sengaja membuka dakwah
dengan cara berkunjung rumah-kerumah (door to door) baik yang berada di kampung
tempat kediamannya maupun kampung lain yang berada di sekitar sukamanah. Dengan
cara ini beliau memilih cara yang tepat karena beliau bisa dengan bebas
menerangkan kepada orang yang beliau kunjungi tentang tauhid dan dosa-dosa
syirik.
Gaya berdakwah seperti ini
memang menjadi salah satu kelebihannya sehingga tidak sedikit masyarakat yang
merasa tertarik mengikuti apa yang telah ia ajarkan karena sekalipun beliau
selalu keras dan terang-terangan menyatakan tentang dosa syirik di depan
masyarakat yang masih memelihara benda-benda pusaka. Namun beliau bersikap
sangat lembut dan penuh kharismatik dalam menjalin hubungan dengan masyarakat sehingga,
seorangpun tidak ada yang berani menentang kepadanya.
Dalam hal memberantas
kemunkaran, beliau melakukannya dengan cara-cara yang lemah lembut, seperti
yang dituturkan putra beliau, KH. Abdul Halim, bahwa ketika menghadapi orang
yang .membawa domba adu, beliau mengelus-elus domba itu, sambil berkata : “
Domba kagungan saha ieu teh meni kasep, komo lamun teu diadukeun mah pasti
kasep pisan “. Seketika itu tukang mengadu domba, berhenti dari kebisaan
mengadu dombanya, berubah menjadi orang yang ta’at beragama.
Itulah sekilas perjalanan
dakwah Mama, ada beberapa yang perlu di garis bawahi dalam fsikologi dakwah
beliau diantaranya:
1.
Dakwah bil hal
2.
Door to dorr and man to man
3.
Pendekatan Kebudayaan
Keistimewaan Mama Cibitung
yang dapat disaksikan sampai saat ini adalah pada saat haolan beliau, yang
diselenggarakan setiap tanggal 15 – 22 Robiul Akhir. Haolan ini dihadiri oleh
ratusan ribu kaum muslimin dari berbagai lapisan masyarakat yang berdatangan
dari daerah – daerah, terutama Jawa Barat, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Sumatra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar